KISAH HIDUP ANANIAS BAGAU
Nama saya adalah Ananias Bagau, Suku Moni yang berasal dari kabupaten Intan Jaya dimana daerah yang saat ini berkembang dengan adanya issu mengenai kehadiran Perusahaan Blok Wabu menjadi polemik Nasional dan eskalasi konflik perang bersenjata antara TNI/Porli dengan TPN PB akhir 2019. Saya dilahirkan anak yang ke tiga dari lima bersaudara . Sosok ibu yang bernama Dorkas Nagapa dengan sang ayah bernama Yohan Bagau.
Saya memulai sekolah Dasar SD Inpres Wandai, waktu itu kabupaten Intan Jaya belum dimekarkan, kami masih ditangan wilayah administratif kabupaten induk, yakni di kabupaten Paniai. Saya menamatkan SD pada tahun 2003. Melanjutkan sekolah tingkat pertama, saya masuk SMP Negeri 1 Agadide di kabupaten Paniai dan ditamatkan tahun 2006. Tidak ada halangan yang alami sepanjang saya SD sampai dengan SMP sekalipun tidak lepas persoalan biasa yang sering dialami semua orang.
Setelah selsesai SMP di Paniai saya berlanjut pendidikan tingkat atas pada SMA YPKB IPA’IYE Nabire. Saya masuk ke situ angkatan ke-5 saat itu setelah baru membuka sekolah tersebut. Pendiri adalah seorang intelektual Papua lulusan 1980-an bernama Dr. Jhon Giyai, M. SI. Ia orang asli Papua yang berasal dari kabupaten Paniai dari Suku Mee. Saya menyelesaikan pendidikan SMA dengan baik pada tahun 2009 di Nabire. Saya mengalami hambatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi karena background orang tua yang ekonominya lemah. Keinginan saya yang besar untuk mau berskolah dalam diri saya, tidak bisa sabar itu pergi bakalai dengan saudara dari orang tua meminta bantuan, akhirnya hasil sumbangan dari beberapa keluarga kerabat terkumpul Rp 7.000.000.00 (Tujuh Juta Rupiah). Pake uang itu saya melanjutkan kuliah di kota Studi Manado Sulawesi Selatan. Saya daftarkan diri di Kampus Universitas Negeri Manado (Unima) fakultas Sastra Bahasa. Setahun kemudian, kuliah saya mengalami hambatan karena pertengahan tidak ada orang sponsor di belakang saya. Keinginana besar yang tertanam dalam diri saya akan mau bersekolah itu ternyata tidak bisa melanjutkan lagi. Saya sangat menyesal melihat mahasiswa lain punya yang jelas sponsornya berpulang pergi kampus.
Saya pun memiliki cita-cita yang paling ideal sama seperti orang lain iu sulit mengapai karena tidak punya orang mensuport dalam studi. Tidak ada jalan pintas lain, saya putus pertengahan pulang kampung ke papua.
Sepulang kampung saya orang tua yang tidak mampu mewujudkan impian saya, tidak bisa bagi saya untuk berpanggu tangan. Salah satunya saya harus usahakan sendiri supaya bisa dapat uang. Waktu itu saya kerja borongan membersihkan dan membuka lahan baru untuk salah seorang tokoh kemua di wilayah tersebut. Sambil bekerja saya menuntut tutup utang piutang orang tua kepada masyarakat yang dimaksud. Hasilnya terkumpul mencapai bisa daftar kuliah. Setahun saya putus kuliah cari uang kuliah.
Berikut tahun 2011 saya berangkat ke Jayapura mendaftarkan diri di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (SIPKOM) Muhamadya Jayapura yang kini lembaga tersebut diubah nama menjadi Universitas Muhamadya Papua (UMP). Karena pertolongan dan rahmatnya Tuhan saya menamat perguruan tinggi pada kampus Universitas Muhamadya Jayapura pada tahun 2015 profesi bidang jurnalistik.
Saya menyadarkan persoalan Papua semenjak saya mahasiswa di kota studi Jayapura tetapi tidak menyadari betul seperti saat ini. Saya sering terlibat aksi-aksi yang dipimpin oleh KNPB maupun tingkat mahasiswa. Sebelum dimekarkan masing-masing kabupaten yang saat ini tergabung wilayah Meepago, dulu mahasiswa yang asal dari Mee dan Moni yang berasal dari kabupaten Nabire, Paniai, Dogiyai, Degiyai dan Intan Jaya bergabung tinggal bersama di asrama Paniai (Aspan) Perumans III dalam. Asrama sering diskusi menyoal apa saja pokoknya tetapi yang lebih sering berkaitan dengan soal papua. Saya ingat benar-benar pada waktu itu mahasiswa cukup banyak dan nakal-nakal, anggaplah kami ini satu pikiran dan satu jalan dan satu barang milik kita semua. Karena kami merasa bahwa hidup di perantauan anggaplah satu bapa dan ibu, tidak ada perbedaan.
KRONOLOGIS.
Kisah pengalaman yang tidak pernah lupa dari ingatan adalah aksi serangan brutal pada tahun 2011 pertengahan acara kongres rakyat Papua ke-III di Jayapura. Kongres Rakyat diadakan di lapangan Zakeus, padang Bulan, Abepura Jayapura 19 Oktober 2011, panitia diketuai oleh Selpius Bobi. Peserta asal Meepago dong datang menghinap di asrama kami di Aspan. Saya melihat peserta hadir dari perwakilan seluruh komponen masyarakat, termasuk utusan perwakilan dari tujuh wilayah adat.
Dalam kegiatan kongres rakyat tersebut saya juga peserta resmi. Pertengahan acara, aparat gabungan keamanan, panser militer dan mobil Baracuda polisi bersiaga setiap mata jalan. Saya sudah merasa tidak bisa bersantai-santai lagi, tapi saya mau keluar lewat mana, karena sudah kuasai pihak keamanan semua jalan. Acara berhenti dan pihak penangggung jawab berusaha amankan semua peserta agar tidak boleh ada yang keluar sendiri-sendiri karena bisa berbahaya. Tetapi polisi sudah mengeluarkan puluhan tembakan, hingga warga papua dipukul babak belur oleh keamanan pake popor senjata, tongkat wafen diatas nya lapis injak sepatu laras. Polisi juga membabi buta menembak warga sipil. kami masih di dalam polisi memalang pintu masuk. Kita semua tahampur dalam. Kalau masih berada di dalam saya tidak mau disiksa dalam keadaan sadar oleh aparat keamanan.
Maka saya ambil keputusan harus keluar biar ditebak mati langsung saat lari dari pada tersiksa penderitaan lama-lama. Saya habis berfikir, melompat keluar lewat pintu belakang. Sambil lari keluar saya menyoleh ke belakang, teman saya bernama Albret Kedepa juga mulai ikut saya dari belakang berjalan sangat lamban. Saya mengatakan segera lari ikut saya cepat karena kita bisa mati hari ini. Adoh sungguh saya sangat sedih, dia berjalan santai sambil memandang muka ke kiri dan kanan ternyata depan mata saya ia terkena tembakan jatuh terguyup-guyup. Sekalipun berjatuhan di depa mata, bagimana saya menolongnya dalam keadaan yang sangat panas begitu! Saya tidak menyadari apakah teman saya itu setelah mengena tembakan sudah meninggal atau masih bernyawa! Saya tersu berlari. Saya melompat ke lembah kecil, naik ikut jalan parit ke arah gunung Abe tempus di halaman STFT kampus milik gereja Katolik. Tempat itu menyadari saya sendiri sangat berbahaya. Tetapi bunyi tembakan saya sudah tidak ada kesadaran, Saya balik ikut jalan tadi ke bawah lagi, setelah melihat saya mereka melakukan penembakan ribuan ke arah saya, Saya masih ingat tiga peluruh yang hampir mengenai saya. Saya sudah tidak ada kesadaran, saya terus berlari mencari tempat berlindung. Saya binggung arahnya, terburu-buru melompat ke bawah di bawah akar pohon berjalan merayap bergeser ke dalam. Tempat di bawah itu gelap karena ditutup pohon besar dan alang-alang kering dan rotang yang mengikat pohon miring menutup ke bawah. Di dalamnya bagus tempat tersempunyian. Ternyata saya jatuh di atas orang yang merayap di tanah duluan. Tempat itu sangat sempit. Tapi saling berdembetan termuat di dalam, jumlah delapan orang, untungnya semua laki-laki. Lebih enam jam tempat persempunyian sampai hari sudah gelap. Tetapi, Saya sudah tertidur lelap karena kepanikan. Saya bangun hari sudah gelap. Setelah bangun dari ketiduran panjang, Saya menyadari ternyata saya tengah situasi yang berbahaya, saya merasa bahwa mungkin saya jatuh pingsang setelah mengenah tembakan rabah seluruh badan tetapi tidak kena apa-apa. Orang bersama tadi mereka meninggalkan pergi saya sendiri.
Saya merasa seperti ada tengah-tengah Singa yang ganas yang mau menyerkam mangsanya. Tetapi lebih bahaya kalau saya masih tempat. Apa lagi area tempat kami tersempunyi tidak jauh dari pos militer sebelah kanan jalan naik Kampus STFT.
Saya merasa berat sekali keluar seorang diri, tetapi saya percaya bahwa Tuhan yang pernah tolong saya dalam segalah masalah, saat ini pun Ia ada saat ini untuk metolong saya selamatkan dari tangan musuh. Saat itu saya ingat perkataan Raja Daud dalam perhimpitan musuh; aku memandang ke gunung-gunung dari manakah akan datang pertolongan, tetapi pertolongaku ialah datang dari Tuhan khalik langit dan bumi. Dan Allah berkata, Ia tidak akan membiarkan engkau tersandung. Perlindunganmu tidak akan tidur (Mazmur 121:1-3)”. Sekalipun situasi sangat mencekam, nas kitab suci ini membuat saya kuat dan saya pun benar-benar percaya bersama Kristus saya akan selamat.
Saya mulai pelan-pelan keluar, bertemu beberapa orang. Saya kaget sekali, mengira pihak keamanan, ternyata masyarakat yang mencari jalan pulang. Saat itu masyarakat yang bersembunyi area sekitar mulai keluar satu-satu. Disitu kami merasa bahwa kita sama-sama orang Papua yang berambut kriting kulit hitam tentunya mempunyai nasip yang sama, sehingga kami sepakat untuk harus mencari masyarakat lain yang masih tempat bersembunyian area sekitarnya. Terkumpul mencapai satu kelompok besar. Kemudian kita sepakat bagaiman selanjutnya jalan keluar dari sini ikut jalan raya potong lewat arah gunung Abe di atas. Merasa agak bisa berjalan dalam kelompok dari pada cari jalan masing-masing mengantisipasi segala kewaspadaan kemungkinan yang tidak kita duga.
Dalam kelompok besar keluar di jalan besar, naik ikut jalan ABE Gunung. Sesampai di puncak gunung, ada yang istrahat sambil telepon ke keluarga dan teman. Tetapi saya bersama seorang teman asal Paniai yang belum saya kenal namanya itu baku ekor mulai lanjut berjalan pulang ikut satu jalan tikus kecil. Kami tidak berpikir saling mengenal satu sama lain dalam keadaan yang tidak sadar, untungnya saya juga bisa berbahasa Mee jadi saya ganti menyebutkan namanya dengan Nogei saja dalam bahasa Indonesia artinya teman.
Hari sudah gelap, dibelakang pangku tas gantung berisi Izajah, Lebtop dan dokumen penting lainnya terus mendaki gunung tanpa senter untuk menerangi jalan. Saya dengan teman tersebut hapenya sudah hilang dari sepanjang perjalanan. Sekalipun begitu kami masih lanjut perjalanan, sedikit beruntung karena bulan terang kami masih bisa lihat jalan. Kami bikin jalan baru, tumbuhan berdurian dan menanjam merobek tubuh kami. Merasa sulit saya menjadi orang papua menjadi orang asing di tanah ku sendiri. Tetapi apa boleh buat saya merasa hidup atas ketentuan orang lain mengenai hidupku. Saya mengenang sebuah lagu karangan Djohan E. Handojo dengan berjudul “bagai bencana” sioo Tuhan Yesus tolong aku tengah penuh bahaya. Hanya kepada Yesus sandaran dan menaruh harapan hidup.
Terus jalan berlanjut tujuan kami dapat tempus jalan Yoka. Kami salah jalan, Ternyata sampai tembus depan pos militer jalan aleh-aleh ke sebelah sini bagian ke atas. Sudah sangat lelah sekali sudah tidak berdaya, bagimana mau balik. Saya dengan teman bersepakat, pasrah saja siap mati. Saya berfikir bahwa jika Tuhan menghendaki untuk akhir hayat disini kami akan mati, lalu saya mengajak teman untuk lewat belakang rumah TNI. Akhirnya kami selamat lewat tanpa bertemu sampai di depan asrama Tolikara. Kami sudah sampai depan tempat peliharaan anjing tetapi anjing tidak mengong-gong saat melihat kami lewat depan. Kami menyadari Tuhan gembala kami membimbing dari jalan depan musuh, Ia memberikan kekuatan, saya tidak takut bahaya karena Ia besertaku (Mazmur 23:1-4).
Saya belum terlalu menyedari, teman itu dipertengahan jalan sudah menyelepon ke salah satu keluarganya menjembut tempat hendak kami tembus. Baru saja sesampai di depan luar Asrama Tolikara satu motor tinggi jenis motor Fixzon datang menjembut kami. Larut malam begitu saya tidak bisa pulang ke asrama, ikut mereka ke salah satu Asrama Kontrakan Pemda Paniai yang berlokasi di Waena Kampung.
Sesampai di rumah, teman-teman mahasiswa dari asal Paniai telepon ke setiap titik Asrama memastikan mahasiswa yang tidak sempat bersama. Hanya salah satu anggota yang belum dipastikan keberadaanya. Ternyata korbannya adalah saudara yang tertembak sewaktu keluar dari tempat kejadian peristiwa tadi. Esok harinya ditemukan jenasanya dalam keadaan tidak bernyawa pada pagi hari. Saya berfikir sekiranya saudara ini mengikuti arahan saya, tidak mungkin kematian menjembut secara paksa. Saya sangat sedih gugup tangan pemangsa teman seperjuangan, saya tangisi dia. Kematian suadara kami dianggap tidak berharga. Keluarga bersama mahasiswa berkumpul untuk meminta bertanggung jawab, tetapi kami merasa kondisi waktu itu sangat berat, tentunya mencari masalah baru. Akhirnya rencana tersebut tidak realisasi.
Sepanjang saya perjalanan malam hingga hari besoknya, mahasiswa Moni kota studi berfikir saya sudah jadi korban dalam peristiwa tersebut. Kemudian informasinya sudah menyebar ke setiap titik tempat keberadaan keluarga, seperti Timik dan Nabire. Tetapi saya tidak terlalu menyadari apa yang mereka lakukan. keesok harinya saya pulang ke asrama, baru saja saya muncul mereka kaget dan memeluk saya sambil menanggis. Kemudian kabarkan informasi kepada semua keluarga bahwa saya Ananias Bagau sudah pulang dalam keadaan selamat.
Saya ingat Dalam peristiwa itu puluhan warga Papua dipukul sampai babak belur oleh gabungan aparat keamanan. Dikabarkan satu orang tewas identifikasi Albert Kedepa mahasiswa aktif salah satu kampus di Jayapura provinsi Papua. Polisi juga melakukan tembakan membabi buta menembaki warga sipil. sebagian warga mendaatkan diskriminasi dan siksa oleh polisi. Banyak masyarakat ditangkap termasuk Lima orang lainnya telah ditahan polda Papua Inpektur Jenderal Bigman Lumban tobing, di antaranya; Forkorus Yaboisembut, Edison Waromi, Selpius Bobi dan teman-teman lainnya dengan kasus makar diancam dengan pidana pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 KUHP jo Pasal 53 ayat 1 tentang makar.
Tengah peristiwa tersebut banyak isu spekulasi yang mengetarkan hati saya semakin secara sikologisnya terganggu. Saya mengenang peristiwa yang saya alami dan membayang-bayang peristiwa lebih besar dari apa yang sudah terjadi. Mengantisipasi segala kewaspadaan siang malam batin tidak bisa tenang. Sioo sangat sulit untuk menjadi orang Papua kalau masih begitu terus mengalami perlakuan yang serupa. Saya terganggu dengan berbagai pangalaman rasis dan stigma separatis yang dialamatkan kepada orang asli Papua.
Sambil duduk, menghalusinasi perasaan orang tua yang telah melahirkan saya hampir taruhan nyawa yang masih berada belakang gunung dusun terpencil. Semakin membangkitkan kerinduan kedua orangtua yang masih berada di dusun kampung kecil di Yigitadi. Setelah dua hari, saya dapat diberitahukan jadwal kapal yang jatuh besok pagi. Saya bertekat ikut kapal pelarian ke Nabire. Sampai di Nabire langsung naik ke kampung untuk mengobati kerinduan. Setelah setahun bersama orang tua di kampung saya balik ke kota studi di Jayapura tahun 2013. Saya lanhut kuliah lagi. Saya sangat sensitif dengan pengalaman lalu itu, kemudian takut ikut demo dan kegiatan yang ada berkaitan dengan Papua. Sering gugup saat bertemu dengan polisi dan militer. Saya anggap mereka itu musuh abadi saya sampai sekarang.
REFERENSI.
Saya sering mengalami gugup. Merasa takut saat bertemu dengan Tentara Polisi yang lengkap dengan seragam dan alutsista. Kepanikan itu sebagai akibat dari pengalaman yang saya alami masal lalu. Setelah balik ke kota studi, pengalaman awal menjadi suatu kenangan buruk yang saya berkomitmen untuk tidak akan terlibat dalam aksi-aksi maupun kegiatan yang berkaitan dengan Papua walaupun kesadaran saya sebagai orang Papua itu masih ada. Jalan pilihan ini untuk menjaga perasaan yang takut berlebihan.
Dari pengalaman itu saya alami sendiri apa yang sebelumnya pelajari melalui buku tulisan para tokoh-tokoh Papua maupun rilis berita dunia maya tentang recording pengalaman kekerasan negara yang dialami oleh sebagai aktivis mahasiswa, sebagai LSM yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat orang asli Papua, sebagai gereja yang bekerja di tanah ini dan juga sebagai pemimpin pejuang Papua yang berhadapan dengan negara ini. Saya menyadari keputusan untuk menjadi seorang patriot bangsa dan tanah di negeri ini tidaklah jalannya mulus. Mereka itu orang-orang yang layak disanjung dan dihormati segenap orang papua. Karena mereka menjual jiwa dan raga dipersembahkan demi tanah dan bangsa Papua.
Saya pun pada binggung tugas sesungguhnya bagi aparat kepolisian yang memiliki peran mengayomi, melindungi dan melayani masyaraka demi stabilitas sosial telah berubah menjadi pihak yang menciptakan situasi tidak kondusif dan menyerang warga. Mereka datang tidak hanya satu misi, mereka datang bukan karena mau melayani orang asli papua tetapi ada satu tujuan yang terselubung. Saya belum terlalu menyadari sesungguhnya tugas terselubung tetapi kebinggungan saya melihat dari tugas aparat penegakan hukum yang terbalik dari tugas pokoknya. Saya pun masih bertanya-tanya, bisakah negara ini yang menganut sistem demokrasi yang memberikan keluasan hak untuk berkumpul, mengemukakan berpendapat dan hak hidup tanpa ancaman dan kekerasan membungkam ruang demokrasi dan mendiskriminasi bagi orang asli papua. Sebab, perjuangan menentukan pendapat sendiri sesuai amanat undang-undang dalam pembukaan naska undang yang menyebutkan bahwa penjajahan di atas tanah ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikeadilan dan prikemanusiaan. Maka bentuk perjuangan pembebasan permanen dari kekuasaan negara Indonesia sesuai amanat UUD sendiri.
Satu masalah ihwal politik juga berdampak pada aspek lain seperti kesehatan. Seperti tentara polisi itu berkuasa atas segala bidang. Pemerintah harus menjamin pemerataan pelayanan pada aspek kebutuhan paling utama, yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi kemasyarakatan atau menjamin kesejahteraan sosial. Tetapi sulit realisasi karena melihat tidak ada perubahan signifikansi dari dulu hingga saat ini.
Oleh karena itu segalah bentuk genosida dan ekosida serta perilaku kekerasan yang menyimpang iman dan moral kristen harus dibasmikan dari tanah ini.
Oleh Hengki Wamuni
Komentar
Posting Komentar