Bedah Buku Bernadus Wos Baru, OSA; ORANG PAPUA DI PERSIMPANGAN JALAN- Peradaban, Konflik, Dan Perjuangan Menegakkan Martabatnya
MENGKONSTRUKSI KEMBALI ORISINALITAS EKSISTENSI ORANG PAPUA OLEH ORANG PAPUA SENDIRI (Bernadus Wos Baru, OSA)
Pewarta: Hengki Wamuni
Times: 24, Januari 2024 mulai pukul 10 – 03 sampai selesainya.
Workshop membedah buku Bernadus Wos Baru, Osa; ORANG PAPUA DI PERSIMPANGAN JALAN- Peradaban, Konflik, Dan Perjuangan Menegakkan Martabatnya, 24 Januari 2024. Acara membeda buku ini diselenggarakan di Aula STT Walter Post Jayapura Sentani kolaborasi bersama dengan Dewan Gereja Papua (West Papua Council Churcshes- WPCC). Pemateri menanggapi buku menghadirkan para akademisi lembaga sekolah Teologi yang terdiri dari Dr. Benny Giyai, Ph, D teolog dan antropolog pengajar STT Walter Post Jayapura, antropolog pengajar di STFT Fajar Timur Dr. Berry Renwarin, M.SI, mewakili kaum perempuan seorang aktivis feminis Papua Barat dan pengajar STT Walter Post Ester Haluk. Penulis sendiri adalah orang asli Papua ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur aktif lulusan Roma. Peserta workshop dihadiri sekitar 40-an lebih orang yang terdiri dari kalangan mahasiswa teologi dan sekolah umum, warga dan pemimpin gereja yang terwadahi di bawah Lembaga Dewan Gereja Papua, para aktivis dan jurnalis. Jalannya kegiatan membeda buku ini dipandu oleh Naftali Edowai, M. Pdk pengajar STT Walter Post Jayapura.
Buku ini penting karena ditulis oleh orang asli Papua sendiri yang berangkat dari pergumulan panjang atas dinamika berbagai permasalahan Papua yang saya pinjam dari kata Dr. Benny ‘Papua yang begitu mendidih dan mengiring kita ke dalam ketidakberdayaan’ menentukan masa depan hidupnya sendiri. Dimana, sejarah kontak dengan orang luar adalah awal dari orang Papua mengalami analogikan dengan bencana stunami atau peristiwa longsor besar yang datang menyenggelamkan keberadaan masyarakat asli (Orang Asli Papua). Penulis sendiri membagikan fase sejarah kontak dengan orang luar dikelompokkan menjadi ekspedisi pertama asal Portugis dan Spanyol pada tahun 1526-1527 di bawah pimpinan Jorge de Menezes, babak kedua Belanda mengambil alih kekuasaan atas New Quinea sekarang Papua Barat, secara resmi umumkan pada tahun 1826. Tahap berikutnya, kontak dengan para misionaris Kristen tahun 1855 pesisir-Mansinam, dan pegunungan baru 1939 Meuwo-Paniai. Kemudian, Indonesia memasukan Papua ke dalam negara Indonesia melalui proses kecurangan hukum yang tidak menghormati hak azasi manusia. Sejarah penyelenggaraan pepera yang penuh bohong, kini menjadi kesan buruk meninggalkan luka bagi orang asli Papua. Dalam potret umum pembukaan kegiatan beda buku oleh moderator menegaskan bahwa badai gelombang itu sampai saat ini tidak ada perubahan yang signifikan. Justru kini sangat masif perbuatan ofensif yang mengakibatkan pada penjajahan mental ketidakberdayaan, pemusnahan etnis, asimilasi kebudayaan, dan pengrusakan bioekosistem.
Melalui buku ini memberikan kita reflekstif melihat masa lalu kita dari mana kita asal, bagimana posisi kita saat ini dan hendak kemana dari sini. Proses perubahan yang begitu besar selama 6 dekade ini, Dr. Benny menyatakan kita telah terbentuk dari perbenturan kebijakan negara yang tidak memberikan ruang bagi orang asli Papua, regulasi dan istrumen hukum lainnya memberikan jalan mulus bagi praktek ekstraktivisme dan pemekaran DOB, pembangunan yang bersifat kapital tidak memberikan manfaat bagi orang Papua yang tidak siap untuk penyesuaian, praktek diskriminasi dan indimidasi secara verbal dan nonverbal kepada pihak yang lantang mengkritik kebijakan dan program pemerintah seperti pimpinan gereja, LSM dan para aktivis. Di satu pihak korporat bersekongkol dengan para elit berjuis dan elit TNI mencekik rakyat dengan menggunakan kapasitas kekuasaan, jabatan dan peralatan negera untuk hanya mengeruk isi perut bumi tanpa ikuti prosedural. Ada pun juga yang berperan sebagai jembatan pemerintah pusat oleh pemimpin lokal menjual murah harga diri dan martabat bangsanya demi memperoleh jabatan empuk. Tidak lebih dari pada penghianatan bangsanya sendiri hanya kepentingan ekonomi sesaat saja.
Pengarahan umum kegiatan bedah buku disampaikan oleh Ibu Henny Ohoitimur, M. Pdk. Acara dibuka dengan doa yang dipimpin Pdt. Dorman Wandikbo, presiden gereja GIDI dan dilanjutkan dengan pemaparan materi tiga nara sumber (lihat awal pembukaan ini). Masing-masing sebagai para akademisi menyampaikan materi menangkapi isi buku ini sesuai dengan profesinya setelah lebih dulu menyampaikan isi ringkasan buku oleh penulis sendiri. Setiap pemateri dimulai dengan memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada penulis. Ini merasa bahwa penulis sebagai orang Papua sendiri sangat berharga menulis sejarahnya sendiri membongkar bias hegemoni budaya, sejarah, dan keagamaan yang mendominasi cara pandang dan tingkah laku orang Papua. Pada satu sisi, menempatkan dirinya sebagai subjek dari perilaku bias dominan western, penulis buku ingin menunjukkan kepada dunia bahwa sebenarnya dirinya bukan seperti apa yang digambarkan karakter entitas rendahan oleh bangsa Eropa dan kini Indonesia. Sebelum kontak dengan orang dunia luar, orang Papua hidup secara otonom dan mandiri. Selama itu tidak diperlukan orang luar meminta pertolongan, sebagaimana digambarkan Cator karakter orang Moni bahwa mereka tidak pernah meminta atau mengemis (Dr. JW Cator 1939).
Berry memahami lebih jauh pola penguasaan atas suatu etnis dimulai dari definisi salah yang dominan negatif atas keberadaan suatu kelompok tertentu. Definisi yang sangat populer di berbagai belahan dunia adalah prasangka dominasi rasial. Pengolongan masyarakat yang diberikan oleh orang Eropa karena alasan perbedaan warna kulit dan alasan politik. Yang lokalisasi oleh Berry dengan pelabelan yang diberikan Indonesia terhadap bangsa Papua dengan alasan politik seperti Teroris, GPL/GPK, gereja yang pro OPM dst . Stigma dengan bermacam-macam label ini mempunyai indikasi alasan politik. Adalah upaya menghindari intervensi pihak asing pemerhati sosial atas perubahan sosial budaya akibat asmilasi kebudayaan dan hibritas, menutupi kesenjangan sosial akibat praktek perusahan ekstraktif profit dan deforestasi.
Antusiasme peserta workshop dapat lihat dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada panelis. Berbagai pertanyaan yang dimunculkan berbentuk autokritik yang mana atas kesulitan dalam menentukan disposisi bagi orang Papua sebagai pihak subjek persoalan. Kesadaran penuh gagasan Thich Nhat Hanh dari Vietnam adalah kunci dari menentukan disposisi tersebut. Bersifat autokritik juga telah ditanyakan Yokebeth salah satu peserta untuk mengkaunter hegemoni budaya dimulai dari bawah. Yang dimaksud ‘di bawah’ adalah semua kalangan masyarakat untuk menyadari pola-pola ketidakadilan. Melaterbelakangi pernyataan ini dalam pertimbangan sejarah telah mengemukakan bahwa sebuah sistem penjajahan masuk melalui sarana agama, kejayaan dan kekayaan. Memperkuat pertayaan ini dari Eneko untuk koreksi diri gereja-gereja Injili di tanah Papua. Evaluasi total atas pengurusan organisasi dan langkah-langkah pelayanan para pemimpin gereja masa lalu menjadi satu tindakan yang lebih penting. Ia menawarkan gereja menginisiasi doa pemulihan kedepan. Pernyataan doa bagi pemulihan tanah Papua telah dipersetujui oleh Pdt. Yayah Lagowan ketua satu gereja Kingmi Di Tanah Papua periode 2022-2026.
Isu yang menjadi tantangan teologis yang diutarakan Pdt. Dorman Presiden GIDI berkaitan dengan homoseksual dan transgender bantuan medis diperbolehkan untuk menghormati HAM di dunia Eropa. Pdt. Dorman juga memberikan semangat dan dorongan kepada peserta untuk membudayakan literasi. Yang diperkuat oleh seorang pujangga, Qurah bahwa gerakan epistemik sosial dengan kajian basis sejarah dan realitas adalah upaya penting terutama bagi kalangan mudah yang berkecimpung dalam dunia literasi.
Berawal dari sebuah pertanyaan penting, setelah dari sini akan kemana? Diusulkan oleh penulis, pemantik dan peserta workshop bahwa; 1) menyiapkan teologi lokal, 2) Pendidikan Anak, 3) bikin suatu lembaga pendidikan membuat sistem pembelajaran dengan muatan lokal kepapuaan, dan 4) gereja bersatu tanpa mengantarkan institusi kegerejaannya dalam satu visi untuk memperjuangan Papua Damai Sejahtera (lihat lagu Mars Kingmi).
Mengakhiri kegiatan dengan disimbulkan oleh moderator, membacakan halaman buku 42-43 yang kurang lebih berisi tentang konflik sejarah dan politik yang melahirkan kekerasan dan menyingkatkan pelanggaran HAM berat, keberadaan orang Papua yang memiliki perbedaan aspek ideologi dan filosofis menjadi tantangan bagi Indonesia membatasi akses memenuhi dalam semua aspek kehidupan. Pemekaran daerah Otonomi Baru membuka kemudahan bagi kepadatan penduduk provinsi lain di Indonesia datang menguasai tanah Papua. Yang akan menyebabkan tenggelamkan sejarah, sosial budaya dan keagamaan, menyudutkan ruang dan kesempatan bagi masyarakat lokal. Lalu mengajak atau pernyataan yang sebenarnya lantang menantang para tuan dan puan kaum mudah dengan sebuah pertanyaan etis oleh penulis Bernadus; mampukah? Mengkonstruksi kembali orisinalitas eksistensi kita dalam semua aspek supaya membangun masa depan Papua yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar