SEMINJAR BERTAJUK: QUO VADIS PAPUA TANAH DAMAI?

MEMPERJUANGAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN TANAH PAPUA TANGGUNG JAWAB SEMUA STAKHOLDER


By Hengki Wamuni

Seminar umum berjudul; QUO VADIS, Papua Tanah Damai? Dan sub judul “Mari Bicara Jujur Tentang Tong Pu Tanah” berlangsung pada 29 Januari 2024 pukul 10-03 sore di Hotel Horison Padang Bulan. Seminar ini diselenggarakan oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransisikan Papua (SKPKC) Jayapura. Peserta seminar dihadirkan berbagai kalangan terdiri dari tokoh dan pimpinan lintas agama, para akademisi, LSM, Aktivis, jurnalis dan mahasiswa kira-kira 40-an peserta. Seminar ini dilanjutkan dengan diskusi bebas lintas organisasi mengagas Papua Tanah Damai? Mengadakan forum ini upaya lanjutan SKPKC dalam rangka mencari sebuah solusi mewujudkan perdamaian dan keadilan bagi tanah Papua. Ternyata kerja keras yang telah berusahakan rasanya sampai saat ini belum terpenuhi tujuan dan harapan yang idealkan. Perjuangan perdamaian dan keadilan bukanlah tugas hanya satu orang atau satu organisasi saja. Membahas dinamika dan perubahan tanah Papua mempunyai kewajiban bagi semua orang melibatkan semuasemua pihak. Dalam hal ini turut mengambil inisiatif dan bekerja sama stakholder yang berkepentingan untuk dialog dan mencari manajemen resolusi. Gagasan ini telah disampaikan karena pemerintah pusat belum kejelasan itikatnya menangani berbagai dinamika yang begitu lama terjadi atas tanah Papua secara serius. Justru eskalasi konflik semakin meningkat setiap tahun merekam dalurat HAM. Tingkat krisis kemanusiaan yang lebih besar terjadi dimulai akhir tahun 2018 di Nduga, Intan Jaya pertengahan 2019, Maybrat, Puncak dan Timika 2020 serta beberapa daerah pegunungan dan wilayah pesisir Papua Barat. Pelanggaran HAM tidak hanya secara sempit perlakukan diluar hukum terhadap warga sipil secara fisik sebagaimana klaim kalangan kaum awam hukum. Tetapi secara sengaja membiarkan atau membatasi akses pemenuhan HAM atas hidup, bebas tanpa indimidasi dan semua ini telah dijamin oleh konstitusi. Segi pembangunan pada aspek pendidikan, kesejahatan, kesempatan kerja, hak pemeluk agama dan menjalankan kepercayaan serta hak-hak lainnya. Hal ini terjadi karena klaim sempit nasionalisme di pihak pemerintah pusat dan sebagai dasarnya rasisme yang melahirkan berbagai patologi sosial.

Mata jalannya seminar dan diskusi publik arahan umum telah disampaikan oleh Yuliana Langowuyo salah satu tim SKPKC Fransiskan Jayapura. Sambutan pembukaan diberikan oleh P. Alexandro Rangga OFM direktur SKPKC Fransiskan Papua, ia menjelaskan latar belakang mengangkat tema Quo Vadis ini referensi ambil dari perkataan Yesus, Ia ingin kembali ke Roma supaya disalibkan kedua kalinya dalam kisah pertemuan antara Yesus dengan rasul Simon Petrus dalam kitab apokaliptik Katolik. Yesus balik ke Roma untuk bersalib kedua kali mempunyai makna yang mendalam dalam konteks Papua ketika tidak menyelesaikan sejarah kelam masa lalu, beban psikologi dan sosial yang telah diwariskan dan terus berulang sampai saat ini. Karenanya, dalam slogan bicara jujur menjadi makna penting. sebab bicara jujur dengan apa adanya secara bebas bagi subjek korban adalah satu langkah kolektif untuk mengeluarkan beban pikiran yang selama ini terpatri dalam pikirannya secara abstrak (tidak kelihatan). Salah satu alternatif terpenting bagi korban adalah mengajak bercerita mengenai permasalahan dirinya, menurut sudut pandangnya. Biarkan dirinya sendiri memikirkan dan menentukan orientasi solusi. Dalam kerangka perjuangan perdamaian dan keadilan Papua Barat inilah yang selama ini melalui terbitkan buku berseri laporan tahunan dengan judul Memoria Passionis, forum diskusi dan panel yang dilakukan oleh SKPKC Fransiskan Jayapura.

Acara ceramah dipandu oleh Kurniawan Patma pengajar Universitas Cenderawasih Uncen Papua. Pemateri dihadirkan lintas agama dan akademik yang diwakili Mrg. Yanuarius Theofilus Matopai You uskup keuskupan Jayapura, tokoh NU Papua KH. Nursalim Arrozy, S. HI, dan akademik Uncen Dr.  Bernarda Meteray. Bicara jujul ini menjadi standar yang dipegang oleh pemantik. Yanuarius uskup Jayapura menyesalkan atas ketidakadilan dan konflik perang bersenjata antara aparat keamanan Republik Indonesia dengan tentara pejuang pembebasan Papua Barat yang mengakibatkan krisis kemanusiaan yang hingga saat ini pemerintah pusat belum ada upaya serius menangani konflik. Ia menegaskan bahwa eskalasi konflik yang terjadi saat ini di pegunungan Tengah Papua ada muatan unsur kesengajaan atau konflik buatan. Yang dimaksud konflik buatan adalah melihat realitas sebagai sebuah akibat dari kolaborasi rahasia yang bersekongkol dengan para elit yang memiliki kepentingan bisnis profit. Telah dikemukakan konflik kepentingan melibatkan militer, elit penguasa jakarta dan korporasi melalui kajian 9 organisasi koalisi yang telah lahirkan krisis kemanusiaan di tanah Papua. Konflik bersenjata ini menuai gelombang pengungsi yang sangat besar, mereka mengungsi, menderita dan mati di atas tanah leluhurnya sendiri kata Matopai. Karena itu, perjuangan menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan merupakan tugas panggilan dan pelayanan pastoral gereja. Untuk menjawab pergumulan permasalahan pastoral sosial ini gereja Katolik keuskupan Jayapura telah mencanangkan dua program pokok, yakni mengembangkan agency sosial dan kolaborasi dengan semua pihak supaya mencari solusi perdamaian bagi tanah Papua bersama. Ia mengkategorikan ulasan materinya menjadi dua hal. Pertama aspek positifnya tidak pungkuri untuk mengakui keberhasilan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur (material), mengambil alih dalam kepemimpinan lembaga kepemerintahan dan sektoral. Akan tetapi segi negatifnya pembangunan dominan ditenggarai praktik ekstraktif dan pembangunan yang bersifat kapital yang tidak menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal sehingga menguntungkan manfaat bagi mereka sendiri (komunitas warga pendatang) yang sudah mapan. Selain itu memiliki perbedaan pandangan antara Papua Jakarta tidak terjadi harmonisasi komunikasi dan keselarasian kebijakan. Yanuarius menyatakan kesalahan dipihak orang Papua sendiri, ada orang lain yang sedang mendukung dan terlibat dalam tindakan ketidakadilan sosial. Pertisipasinya sebagai pemain ataupun juga agen yang melaksanakan agenda-agenda selubung. Selain menggunakan senjata api membunuh orang Papua, Miras, tertular penyakit HIV AIDS dan obatan buatan adalah senjata amat mematikan. Karena itu ia menyeruhkan agar orang Papua kembali lestarikan dan dayagunakan kearifan lokal. Menyikapi berbagai permasalahan pastoral di atas, gereja Katolik mencanangkan dua program besar, yakni (1) agency sosial mengenai keterlibatan dan mengambil alih kendali kehidupan dalam semua aspek kehidupan orang Papua, dan (2) dialog dan kolaborasi dengan semua pihak yang berkepentingan dalam upaya mencari solusi perdamaian.

Bernarda mengakumulasi permasalahan berdasarkan masa kepemimpinan SBY dengan Yokowi Dodo dalam membandingan kebijakan dan realisasi kebijakan tersebut atas tanah Papua. Dikategorikan unsur pembangunan bersifat prioritaskan dan juga pengabaian pada penerapannya. Berhubungan dengan pertanyaan mendasar ‘apakah Papua kembali ke Indonesia untuk menderita kedua kalinya? Ia menegaskan dengan mengutip perkataan dari Albert Sain, perdamaian tidak bisa dipertahankan dengan kekerasan. Perdamaian harus dengan tanpa kekerasan. Memahami sumber soal dulu dan bertindak merujuk pada kevalidan data dan kebenaran yang otentik adalah kekuatan yang tidak bisa terkalahkan oleh pihak lawan. Kembali tersinggung sejarah deklarasi Teologi Penderitaan Papua oleh pimpinan keagamaan di tanah Papua 2006 dalam pergumulan pastoral atas kenyataan apa yang dialami oleh warga jemaatnya. Meteray meringkaskan konteks yang menjadi refleksi utama dalam penyampaian suara pengembalaan yang dikeluarkan oleh profan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu karena melihat penyingkatan konflik kepentingan di Papua, perbedaan pandangan status sejarah politik dan kesempitan klaim nasionalisme Papua oleh Jakarta, praktek perusahaan profit, tindakan kekerasan pelibatan aparat keamanan Indonesia dan meluasnya impunitas,   serta pembatasan akses atas semua aspek kehidupan manusia. Karena bicara jujur, maka pemeberlakuan Otsus di wilayah Papua ada kecenderungan alasan politik supaya merendahkan semangat akan nasionalisme oleh orang Papua. Saat kalah itu setelah sistem pemerintahan diktator tumbang dan memberikan kebebasan HAM kepada warga negara Indonesia. Kemudian program unit percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) terdapat penyimpangan atas kultur dan orang Papua tidak dilibatkan dalam proyek tersebut. Pemberdayaan keberadaan MRP hanya menjadi dogma konstitusi yang tidak memberikan sepenuhnya melaksanakan amanat UU itu sendiri. Ada pun amanat undang-undang Otsus mengenai resolusi konflik di Papua telah diabaikan atau tidak merealisasikan. Seperti bentuk KKR, bentuk Partai Politik Wilayah Papua dimana kedua pasal ini telah dihapuskan dalam amandemen UU Otsus no 2 tahun 2021 digantikan pasal pemekaran daerah otonomi baru. Lalu Presiden Jokowi Dodo 2014 telah menjanjikan dialog konstruktif justru kini menegakan remiliterisasi dan ekspansi ekonomi politik. Bernarda menarasikan sudut pandang pemerintah pusat terhadap tuntutan dialog memperkecilkan pada dialog sektoral, sehingga belum terakomodir baik semangat dan tujuan dari pada esensi diaologi yang diharapkan. Ia mengakui kelemahan dipihak kita sendiri masih ada perang suku, konflik kontestasi polititik dan persoalan komunal. Akibat dari berbagai masalah di atas terjadi kekecewaan berkepanjangan orang Papua terhadap Indonesia. Dampak yang dialami menyebalkan tindakan kekerasan fisik dan menyempitkan ruang demokrasi, menyimpulkan kecurigaan klaim pendukung pemerintah pusat dan OPM sasaran korban pihak warga sipil. Adanya keretakan hubungan sosial antara kelompok Nusantara dan warga Papua. Tetapi menurut Kiyai Haji Nursalim atas keberadaan Nusantara sebagai salah satu wadah spontan dalam momen-momen kasuistik. Akan tetapi tangkapan balik peserta seminar mengatakan bahwa organisasi Nusantara adalah suatu paguyuban komunitas orang pendatang yang ingin melawan warga asli setempat.

Banyak respon dan komentar yang diutarakan para peserta lintas organisasi. Peserta mempunyai konsep yang sama akan perlunya melibatkan seluruh komponen masyarakat tanpa mengantalkan wadah. Perjuangan perdamaian dan keadilan adalah agenda perjuangan Yesus yang kini telah ditinggalkan untuk hamba-hambaNya. Karena itu, menegakkan martabat dan derajat manusia merupakan tugas semua orang sebagai manusia.

Komentar