OPINI REFLEKSIKAN PILKADA TELAH SILAM DAN PESTA POLITIK KINI [Pesta Politik Kali Ini Antara Sengketa Dan Pemilu Yang Bermartabat]

 



By Hengki Wamuni

PENGANTAR

Dalam menulis opini ini secara singkat saya akan menguraikan beberapa pokok pikiran berangkat dari refleksikan Kembali pengalaman sengketa politik sebelumnya, dendaman pesta politik yang mempengaruhi dalam berpemerintahan dan bermasyarakat, politik uang, serta beberapa tanggungjawab dasar para penyelenggara. Pada uraian berikut ini saya tidak basa-basi tetapi langsung masuk gagasan inti secara singkat.

Opini bertajuk subjudul 'Pesta Politik Kali Ini Antara Sengketa Dan Pemilu Yang Bermartabat’ tidak lahir dari sebuah bahan pemikiran tanpa dasar melainkan bertolak dari pengalaman dalam beberapa pesta politik yang menandai sengketa pilkada. Dampak konflik pilkada selama penyelenggaraan politik kurang lebih dua decade belakangan ini cukup besar terasa dalam semua senti kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Siapa dalangnya? Apa pemicu konflik? Mengapa sengketa? Adalah pertanyaan kunci yang harus ditelaah secara jujur dan terbuka dalam urian berikut ini.

SISTEM NOKEN

Berpijak dari pengalaman sebelumnya saya berasumsikan pesta politik kali ini akan menentukan standarisasi kualitas pelayanan pemerintah kedepan. Yurispendensi Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 47-81/PHPU.AVII/2019 terdapat dua cara dalam pelaksanaan system noken yang digunakan khusus untuk sejumlah wilayah yang berkizar wilayah adat Lapago dan Meepago. Keputusan itu, yakni (1) kesepakatan Masyarakat yang dilakukan di TPS secara deliberasi, (2) dan kesepakatan yang diwakili oleh kepala suku. Berpedoman pada Keputusan Mahkama Agung tentang system noken di atas belum rumuskan secara baik apa gagasan, definisi dan mekanisme untuk menentukan system noken. Sebab itu saya berasumsi bahwa system noken adalah dalang colonial yang sengaja dibuat supaya terus menyuburkan konflik “Papua Makan Papua”. Klaim pemerintah pusat memang orang Papua susah diatur makanya biarkan mereka bermain di lapangan yang telah siapkan oleh Jakarta. Analogi lapangan itu adalah system Noken yang dibuatkan secara absurd tanpa petunjuk mekanisme yang jelas. Sama seperti peribahasa yang mengatakan ‘tidak ada rotan, akarpun jadi’. System noken sebagai suatu sarana supaya Papua terkondisikan dalam penyakit ketidakberdayaan, konflik dan permusuhan agar kita tetap berada dalam keterbelakangan dan tertinggal dalam berbagai sektor dan terhambat dari kemajuan.

Mengaitkan pemilihan menggunakan system noken di atas sebagai dalang berpotensi sengketa beralasan dengan argumentasi bahwa pemilihan dengan sistem noken masyarakat tidak murni menggunakan hak memilihnya. Pada sisi yang lain sistem noken ini memberikan peluang besar pada praktek transaksional. Paling fatal yang sering ditemukan dalam pesta politik praktek pengelembungan suara yang melibatkan penyelenggara maupun masyarakat berpengaruh lainnya untuk pendukung salah satu kandidat adalah peristiwa biasa yang menuai adu fisik dan pertengkaran.

Money Politic

Praktek politik uang ini sesuatu yang menjadi karakter bangsa dan pengaruhnya turunkan dari pusat geta kuasa uang. Hal ini menjadi Tindakan wajar yang tentu saja akan dilakukan oleh setiap kandidat termasuk wilayah diluar Papua. Itu tidak jadi soal, tapi hal menjadi masalahnya ketika uang itu mendominasi dalam menentukan pucuk pemimpin. Adalah keniscayaan hal ini berpengaruh pada netralitas pemerintah dan pelayanan public dalam kepemimpinan pada masa mendatang. Prinsip sentralisasi dan pemerataan pelayanan telah ditebuskan dengan suapan sulit wujudkan kesejahteraan social yang adil dan beradab untuk semua. Apabila tensi akan toh suara telah dibeli dengan bayaran cukup mahal. Anggap saja sudah tebus aspirasi Masyarakat terbelikan dengan rupiah. Jika pikiran itu masih terbawah di dalam berpemerintahannya.

Akan tetapi pesan penting disini ialah ketika perolehan kekuasaan melalui fase-fase yang memang menjadi alasan yang wajar untuk bertindak sedemikian. Disinilah karakter kualifikasi pemimpin akan diuji, apakah menjadi pemimpin yang dikehendaki Allah atau pemimpin yang dictator. Kata dictator ini maksud penulis karakter pemimpin yang terus terbawah pengalaman saat pemilihan di dalam kepenggurusan pemerintahan. Tentu saja dendaman itu fakta seperti benang merah yang tak kunjung berakhir. Dendaman karena alasan yang bervariasi, yakni kekalahan politik, belum akomodir dalam penempatan struktur cabinet, masalah sosial dst. Tetapi juga produksi narasi baru yang dikembangan langsung atau tidak langsung mengait-kaitkan dengan alasan politik. Ini menjadi patologi social yang kekuatannya tidak lihat tetapi faktornya cukup terasa dalam dinamika bermasyarakat dan berpemerintahan. Melemahkan kemajuan dan menghambat pengembangan Pembangunan daerah.

VISI MISI

Visi dan misi oleh peserta calon merupakan parameter paling dasar sebagai tolok ukur arah berpemerintahan dan pembangunan daerah. Di era globalisasi dan teknologi ini memerlukan seorang pemimpin yang mempunyai konsep luas dan pemahaman yang kreatif serta inovasi. Konsep tentang rancangan dan manajemen kerja yang dirumuskan dalam visi dan misi harus teruji dan diseleksi secara saksama. Paparan visi misi harus lahir dari pergumulan panjang berangkat dari suka duka dan keresahan permasalahan realitas social dewasa ini dalam kehidupan social masyarakat. Paling tidak konsep dan strategis program kerja adalah sebagai salah satu langkah maju dan yang kogrit supaya dapat berupaya wujudkan keinginan dan harapan masyarakat.

Daerah kabupaten Intan Jaya berbeda dengan daerah lain dari segi stabilitas social termasuk pembangunan pendidikan dan kemajuan. Di Tengah kondisi rawan konflik bersenjata ini memerlukan seorang pemimpin yang bijaksana, inovatif dan kompatibel. Segi manajemen atau prosedur penanganan konflik pemerintah daerah sama sekali tidak punya kewenangan karena konflik berhubungan dengan ideologi. Bukan berarti sama sekali pemda tidak punya kesanggupan menyikapi kondisi realitas sosial. Pemerintah memiliki otoritas mengambil kebijakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan resolusi berkebutuhan jangka Panjang. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan beberapa Langkah-langkah kongrit seperti fasilitasi Pendidikan, perlu ditingkatkan. Disintegrasi social kekinian tidak menjadi alasan untuk demotivasi, tetapi hal ini kembali kepada nurani dan inisiatif serta komitmen para pemimpin apakah bahtera yang kita cintai dan banggakan kabupaten Intan Jaya yang penuh misteri ini di bawah ke arah destruktif atau konstruktif!

Pesta politik ini menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pilihan siapa sosok pemimpin di antara politisi yang ajang bertarung untuk memenangkan pasangan calon. Pijakan dari antisipasi sengketa dan menuai korban warga Masyarakat, ada pesan penting yang disampaikan oleh ketua Sinode GKI Di Tanah Papua Pdt. Hendrikus Mofu dalam webinar dialog public yang diselenggarakan oleh PBM GKI menyampaikan bahwa karakter pemimpin sebagai anak-anak gereja (kader) harus mengedepankan nilai-nilai Kristiani. Pertarungan politik harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berpedoman pada nilai-nilai baik. Sebagai kader gereja pesan-pesan dan doa para hamba Tuhan tidak boleh menjadi tongkat membuahkan penyimpangan dan amoralitas. Harus perhatikan nilai-nilai kesatuan, kejujuran dan persaingan sehat nilai-nilai kebersamaan. Pesan Ketua Sinode GKI Tanah Papua tidak hanya menunjukkan kader gerejanya, tetapi sebagai gembala umat tanah Papua menyerukan pesan moral dan kasih agar nilai-nilai baik dan prinsip hidup kekristenan menjadi pedoman di dalam pertarungan politik pasca pesta politik kedepan.

TUGAS URGEN PEMERINTAH DAERAH DAN PARA PENYELENGGARA PESTA POLITIK DAERAH INTAN JAYA 2024

Secara langsung berikut beberapa saran untuk tanggungjawab para penyelenggara dan pemda yang perlu diupayakan antara lain;

  1.       Pesta Politik Sebelumnya Menjadi Pembelajaran Untuk Kedepan

Setiap momen penyelenggaran politik di kabupaten Intan Jaya diwarnai dengan sengketa pimilukada dimulai sejak 2014 saat pemilihan DPR dan pilkada 2017 lalu. Menurut penelitian Intan Jaya karakteristik konflik berindikasi tanda merah yang berkaitan dengan sengketa pilkada termasuk beberapa daerah pegunungan Tengah Papua pada pilkada serentak 2017.

Karenanya, harus mempunyai kesadaran bersama bahwa mekarkan kabupaten Intan Jaya tidak bermaksud untuk mewarnai dengan kekerasan dan konflik, saling siku dan mendendam, serta saling menjatuhkan terus-menerus. Tetapi orang Moni juga berupaya membangun dan memajukan daerah, bangkit dan bersaing dengan suku tetangga lain melawan label yang mengambarkan karakteristik orang Moni sebagai orang tertinggal, terbelakang dan terisolasi dari hal kemajuan.

2.      Pendidikan Politik Public

Penyelenggara juga berkewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mengedukasi masyarakat public tentang politik yang sehat dan martabat. Berpijak dari alasan pengalaman di atas musti memberikan pemahaman yang bisa dimengerti oleh masyarakat tentang apa makna politik bagi masyarakat, bagaimana partisipasi masyarakat di dalam berpolitik, termasuk timbal balik efek politik bagi kelangsungan hidup bermasyarakat.

3.      Memastikan kondisi keamanan

Intan Jaya ditandai daerah rawan konflik perang bersenjata yang berkaitan dengan masalah ideologi antara ideologi pertahankan keutuhan NKRI dan Papua Merdeka. Sebabnya pemerintah bersama dengan para penyelenggaran secara sungguh-sungguh memastikan kondusifitas keamanan di lapangan supaya kegiatan pemilihan dapat berjalan lancer serta aman.

4     Penyelenggara Berjiwa Social

Beberapa kali belakangan ini para penyelenggara menjadi aktor yang memicuhkan sengketa ketika penyelebungan suara mendukung salah satu kandidat yang tidak sesuai dengan kesepakatan ditingkat TPS. Praktek kecurangan yang dilakukan oleh salah satu oknum dengan menerima suapan dampaknya dialami umumnya masyarakat. Sebab itu, penyelenggara paling tidak bisa akomodir aspirasi yang bersifat umum dan kepentingan bersama. Menurut saya jalan ini mengurangi resiko pelayanan pemerintah kedepan bagi masyarakat dan di wilayahnya.

KESIMPULAN

Tinggal hitung waktu akan tibah momen yang ditunggu-tunggu seluruh masyarakat Intan Jaya masa kampanye dan tahap pencoblosan pemilihan kepala daerah tingkat provinsi sekaligus tingkat kabupaten dan kota. Pengalaman sebelumnya menjadi pembelajaran, kesalahan awal menjadi petunjuk jalan kedepam dan tindakan harus dengan niat baik mengedepankan sesuatu yang berkepentingan umum. Korban jiwa dan raga jangan semata-mata perbuatan wajar. Harus memiliki beban moral lebih baik takut berbuat dosa dihadapan Allah dari pada lebih berat mengutangi nyawa manusia kepada manusia. Hal ini harus menjadi beban spritualitas kita bersama baik penyelenggara, peserta maupun partisipan seluruh lapisan warga masyarakat. Kini tidak lagi waktu membuang energi dan menguras tenaga hanya berfikir selesaikan sengketa pilkada. Tetapi momentum bersatu padu dan punya beban dan auatu harapan bersama memajukan dan membangun negeri secara sehat bersaing dengan daerah lain yang sudah lebih dulu berkembang.

 

Komentar