GEREJA DAN MASYARAKAT - Fungsionalitas Prophetic Voice Gereja Dalam Ketidaksetaraan Sosial

 

ARTIKEL

GEREJA DAN MASYARAKAT

[Fungsionalitas Propheticall Voice Gereja Dalam Ketidaksetaraan Sosial]

By Hengki Wamuni

Abstrac

Dalam konteks gereja dan masyarakat spesifik atas ketidaksetaraan sosial, pengamatan gereja terhadap realitas tersebut melihat sebagai menyediakan ruang bagi pengembangkan tugas panggilan gereja, yakni persekutuan, kesaksian dan pelayanan sosial. Pada sisi lain, seruan gembala tersebut berfungsi untuk memberikan suatu penilaian kritis terhadap praktek pemperlakuan perbedaan (dosa) yang diperhadapkan kepada suatu kelompok masyarakat di dalam suatu sistem sosial. Kumandangkan suara kritik guna memperbaiki suatu sistem sosial yang tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.

Kata Kunci; gereja dan masyarakat, fungsi, suara kenabian, ketidaksetaraan sosial

INTRODUKSI

A.  Latar Belakang Masalah

Sebagaimana suatu sistem sosial mempunyai fungsi tertentu di dalam kehidupan bermasyarakat begitupun juga dengan Gereja mempunyai fungsi yang sangat menentukan terhadap kehidupan kemasyarakatan. Akan tetapi fungsi gereja bersifat universal dalam seluruh aspek kehidupan manusia, tidak bersifat terbatas pada salah satu aspek tertentu dari fungsi struktur sosial. Salah satu fungsi gereja yang menjadi fokus kajian dalam artikel ini adalah seruan kenabian dalam konteks ketidaksetaraan. Isu-isu ketidaksetaraan sosial tidak fokus membahaskan pada salah satu masalah, melainkan dalam lingkupnya yang umum. Ketidakadilan sosial bisa terjadi karena alasan politik ketika kebijakan tidak keberpihakan dan pembatasan akses karena alasan perbedaan golongan dan kelas sosial, ketidaksetaraan gender, golongan distabilitas tetapi juga alasan kesalahan dalam pengelolaan sistem berakibat pada disfungsi sosial. Akhirnya faktornya bisa meluas pada masalah lain seperti kemerosotan, kesenjangan, dan kemelaratan, destruksi serta suatu kehancuran.

Perlakuan pembedaan yang terjadi dapat dimaknai oleh gereja sebagai tindakan kemerosotan moral, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan iman kekristenan. Sebabnya, dalam realitas sosial tersebut diberikan suatu ruang bagi gereja supaya dapat mengembangkan fungsi seruan kenabian atau fungsi kontrol sosial. Seruan kenabian merupakan penyampaian pesan Injil pertobatan, peringatakan akan dosa dan dampak-dampak bahaya yang akan muncul di kemudian hari, mengevaluasikan  kebijakan yang tidak berpihakkan kepada anggota masyarakat yang sedang dipimpinnya, mengangkat keresahan hati umat yang menderita. Kritikan sosial gereja di atas dapat melandasi pada prinsip iman, kasih, simpati, evaluasi serta solutif. Partisipasi gereja tersebut melalui suatu kontemplasi (perenungan) yang mendalam, refleksi menyeluruh terhadap fakta sosial, serta analisis kritis terhadap teks ke konteks. Lalu tampilkan ke muka umum membawa gagasan teologis, seruan pertobatan, menawarkan mekanisme atau suatu alternatif lain dalam rangkah mencari sebuah solusi untuk memperbaiki terhadap situasi sosial. Sehingga gereja hadirkan nilai-nilai kerajaan surga ke bumi seperti; keadilan, perdamaian, harmonis dan kesejahteraan sosial serta kesetaraan (equality) bagi semua.

B.  Pokok Masalah

Secara sosial gereja dipandang sebagai salah satu entitas sistem sosial yang memiliki fungsi sentral di dalam kehidupan bermasyarakat. Disini peran gereja dalam situasi sosial amat luas mencakup permasalahan ekologi dan etika lingkungan hidup, kemajemukan agama dan etnis, ketidaksetaraan gender, konstruksi narasi yang membingkai negatif atas dasar golongan dan kelas yang mempengaruhi pada mind set elit dan kebijakan, pembatasan akses terhadap kepenuhan hak-hak dasar serta ketidaksetaraan gender yang menyebabkan degradasi, instabilitas, kesenjangan dan kemelaratan sosial. Karenanya, dalam pembahasan artikel ini dibatasi pada potret umum bentuk dan praktek pemperlakuan perbedaan sebagai disfungsi sosial dan seruan gembala sebagai kontrol fungsi sosial.

C.  Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan dan analisis masalah berkisar dari daftar kuisioner berikut ini;

  1.  Bagaimana lembaga gereja dapat memfungsikan kedudukan di tengah-tengah ketidaksetaraan sosial?
  2.    Mengapa seruan kenabian itu penting?
  3.    Apa implikasinya dari fungsi kontrol sosial terhadap ketidakadilan sosial?

D.  Tujuan Penulisan

Tujuan menulis artikel ini ingin;

  1.    Mengetahui fungsi institusi gereja;
  2.    Menjelaskan Fungsi seruan nabi dalam konteks ketidaksetaraan sosial;
  3.    Menjelaskan metode, nilai, pola serta stretgis fungsi kontrol sosial terhadap prakteks disfungsi sosial;
  4.  Ingin memastikan struktur sosial dalam masyarakat dapat berjalan fungsinya dengan baik, aman, tertip, adil, damai, dan kondusif.

D.  Metode Penulisan

Menulis artikel ini menggunakan metode deskripsi dengan menjelaskan ketidaksetaraan sosial secara potret umum lalu mengembangkan suara profektik dalam konteks tersebut secara khusus. Tahap menyusun melalui kajian pustaka dan secara argumentif.

Pada uraian berikutnya menyebutkan gereja menunjukkan kepada struktur sosial (kelembagaan), kemudian prophetic voice salah satu fungsi unsur institusi gereja. Saya akan menggunakan beberapa kata yang berbeda hanya pergantian kata dari Prophetic Voice, antara lain; suara kenabian, suara kritikan sosial, atau fungsi kontrol sosial.

 

PEMAKNAAN GEREJA DAN MASYARAKAT – Fungsionalitas Propheticall Voice Gereja Dalam Ketidaksetaraan Sosial

A.  Definisi Gereja dan Masyarakat

Makna gereja dan masyarakat mempunyai cakupan yang sangat luas dan kompleks permasalahannya. Paradigma sosiologis dapat memaknai terhadap eksistensi gereja sebagai salah satu sistem sosial atau institusi spritualitas. Sebagai sebuah sistem sosial, maka gereja akan dapat mengembangkan struktur elemennya dalam kehidupan kemasyarakatan. Atas berbagai dinamika sosial gereja dapat menjalankan fungsi pelayanan pastoral dan gagasan teologisnya sesuai dengan problematika dan tuntutan kebutuhan nyata. Persoalan tersebut meliputi masalah ketidakadilan gender, kemiskinan, etika lingkungan hidup dan ekologi, rasisme, praktek diskriminasi dan ketidakadilan hukum serta sistem hubungan biner. Realitas di atas sebagai suatu momentum untuk gereja menemukan dirinya menjalankan fungsi kritikan sosial dengan berpedoman pada Injil untuk memperbaiki atau mengembalikan keadaan sosial pada semula..

B.  Memaknai Ketidaksetaraan Sosial

Permasalahan ketidaksetaraan sosial adalah kata yang bersifat umum untuk menjelaskan tentang segala bentuk kesenjangan, ketidakseimbangan dan ketidaksamaan akses yang disebabkan karena banyak faktor. Sebabnya mempunyai arti yang berbeda tergantung sesuai dalam konteksnya. Misalkan;

  1.    Aspek Politik[1]; wacana kolonial perlakuan perbedaan ditimpulkan atas dasar perbedaan hubungan biner antara mereka dengan kami. Konsep kami diidentikkan dengan orang-orang yang sudah beradab, beragama, superior dan sudah maju. Sementara mereka diarahkan kepada kelompok yang kapasitas rendah sehingga klaim memerlukan uluran tangan pihak luar. Oleh karena itu, atas dasar pembedaan tersebut pihak berdominan kuat dapat mendominasi lemah dalam segala bidang. Atas dasar pemahaman superioritas tersebut kemudian menjadi sebuah ideologi sehingga dapat terpengaruh kepada semua instrumen hukum, kebijakan dan strategisnya dikonstruksi dalam kerangka hubungan komposisi biner. Termanifestasikan dalam perlakukan pembedaan dalam segalah segi kehidupan baik pada aspek pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan keadilan serta pembatasan terhadap pemenuhan hak-hak dasar lainnya.
  2.  Ekonomi; kemiskinan dapat diformulasikan atas pencapaian dan keuntungan. Formulasi yang digunakan untuk mengambarkan kemiskinan dari komposisi kelas. Misalnya orang yang pekerja rendah dapat dikategorikan kelas rendah.
  3.    Sosial; perbedaan dapat ditentukan menurut gender, distabilitas, etnis dan rasialisme. Golongan distabilitas sering kurang dapat perhatian  karena alasan postur badan. Gender dipersepsikan tidak kuat dan tugas domestik[2]. Segregasi sosial menjadi pemicuh konflik di daerah kemajemukan etnis dan suku.
  4.  Hukum; ketidakadilan hukum dapat terjadi ketika para penegak hukum mengubris kepada para elit dan mengabaikan pihak proletarian.
  5.   Agama; dari segi keagamaan terjadi perbedaan antara agama mayoritas dan minoritas. Klasifikasi minoritas atau mayoritas dapat diukur dari banyak jumlah, kemewahan dan kedudukan individu-individu penganut suatu agama di dalam suatu struktur fungsi sosial yang akan memudahkan semua fasilitas agamanya, seperti Islam dan Kristen.
  6.    Etnis dan Budaya; intraksi sosial yang terjadi antara dua etnik yang berbeda akan terdapat ketidak kesesuaian. Diskomunikasi tersebut dapat terjadi karena masing-masing mempunyai karakteristik budaya dan wawasan interpretasi terhadap kebudaya yang berbeda sehingga bisa dapat menyebabkan mendominasi budaya oleh dominan kuat.

Semua bentuk kemunduran sosial yang dapat disebutkan beberapa contoh di atas bisa terjadi ketika unsur-unsur di dalam suatu sistem tidak dapat dijalankan sesuai dengan fungsinya.

Menurut sosiolog Inggris Louise Warwick-Booth, ketimpangan sosial dapat dipahami dengan perbedaan pendapatan, sumber daya, kekuasaan dan status di dalam dan antar masyarakat[3]. Hal ketimpangan tersebut dipertahankan oleh mereka yang mempunyai posisi berkuasa melalui institusi dan proses sosial. Dimaksudkan proses sosial menurut Booth merupakan seorang yang memiliki pengaruh besar akan dikerakkan kekuatan dan masanya untuk memperoleh kedudukan yang tertinggi. Kemudian memanfaatkan posisinya untuk melipatgandakan keuntungan bagi dirinya dibandingkan mensejahterakan rakyat.

Ketidaksetaraan sosial menurut Murthakamah (2013) lebih cenderung semacam konstruksi sebuah sistem yang terlembagakan sehingga dapat persepsikan dalam bingkai pelabelan negatif. Sehingga menambahkan situasi diskriminasi, pembedaan peran, akses, partsipasi dan kontrol terhadap sumber daya dapat dilihat dari masih adanya stigma buruk, warga kelas dua, marginalisasi ekonomi, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan gender berkaitan dengan ketdaksetaraan kondisi sosial dalam masyarakat akibat dari relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan dengan penjelasan di atas, maka ketidaksetaraan sosial merupakan suatu kondisi sosial yang terciptakan dalam arti negatif ketika suatu fungsi sosial tidak dapat difungsikan dengan baik. Patologi sosial yang ditimpulkan karena disfungsi sosial yang mempraktekkan oleh elit dengan dua alasan. Pertama alasan politik atas dasar perbedaan golongan dan kelompok yang harus membatas dari semua aksesnya. Yang kedua praktek penyalahgunaan fungsi sosial yang dapat dimanfaatkan kepentingan pribadi dari kepentingan umum. Sebabnya dapat menyimpulkan ketidaksesuaian, kesenjangan, melarat, ketidakadilan dan banyak peristiwa berkaitan dengan dekonstruksi sosial dapat terjadi.

C.  Konsep Fungsionalisme Gereja

Pada bagian awal di atas saya telah menjelaskan mengembangkan fungsi gereja di tengah ketimpangan sosial. Sub bagian ini diuraikan penekanan spesifik pada gereja dan perannya terhadap situasi ketidakadilan yang terjadi.

Fungsionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan bahwa; teori yang menekan tentang unsur-unsur dalam suatu mayarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi[4]. Spencer beranalogikan Struktur fungsional sebagai anatomi tubuh atau dalam bahasanya disebut organisme yang diartikan sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang saling berhubungan selama jangka waktu tertentu atas dasar pola tertentu[5]. Ibaratkan dengan sejumlah fungsi anggota organ tubuh manusia dapat dimainkan  sehingga keutuhan organisme dalam tubuh manusia itu saling menopang.

Begitupun juga dengan kehadiran gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bersekutu dengan Tuhan melainkan pelayanan yang bersifat keluar ke arena konteks sosial mengembangkan rumusan teologis relevan dengan situasi sosial.

Bagi Benny Giay fungsionalisme gereja adalah ‘enggaged’ artinya gereja terlibat aktif menyikapi situasi sosial dengan mengandalkan nilai, gagasan teologis, dan memperjuangkan Penginjilan Baru[6]. PI baru dapat dimaknai sebagai gereja membuka diri dan menentukan peran berbasiskan situasi yang berlangsung berpijakan dalam terang Injil. Benny dapat memandang bahwa ketidaksetaraan sosial sebagai salah satu tanda-tanda zaman (rampu-rampu lalu lintas) memberikan sebuah tanda agar dapat di sikapi berdasarkan referensi teks kitab suci dari (Matius 16:2-3) oleh orang-orang percaya.

Secara umumnya menjalankan fungsi gereja berdasarkan tiga unsur panggilan gereja, yakni pelayanan sosial, persekutuan dan kesaksian dan ketiganya tidak dapat terpisahkan satu di antara yang lain. Unsur-unsur fungsi gereja tersebut dapat dikembangkan dari tiga tugas ganda (Three Fold Ministry)[7] yang dijalankan oleh Yesus, yakni tugas mesianik atau penyelamatan/penebusan, apostolik atau pengutusan dan kerajaan Allah. Wujud dari tugas ganda tersebut konklusikan dalam amanat agung Kristus, yakni pengutusan, pemuridan dan pembabtisan (Matius 28:18-19). Dalam konteks lingkup fungsionalitas, kitab suci menarasikan dalam bentuk alegoris dan harafiah. Misalnya garam dan terang dalam kitab Matius 5:13 telah digambarkan dalam dua maksud, yakni 1) keteladanan hidup gereja sebagai institusi spritualitas gerejani atas menjalankan tugas keagamaan di bumi, 2) sisi lain tugas seruan pertobatan (mengarami) kepada seluruh jagat raya untuk transformasi dunia. Rasul Paulus menyebutkan “bercahaya seperti bintang-bintang” dalam kitab Filipi, ia sedang menganjurkan bukan saja untuk menjadi keteladanan melainkan diperjuangkan semaksimal mungkin merambatkan nilai-nilai toleransi, kasih, kebenaran, keadilan, kesetaraan menjadi gaya hidup kemasyarakatan (Filipi 2:15)[8].

Hubungannya dengan fungsionalisme gereja dalam dinamika kemiskinan, ketidaksetaraan gender, diskriminasi dan ketidakadilan hukum, deforestasi dan etika lingkungan hidup, rasisme dan berbagai isu lainnya yang diproduksikan oleh budaya, elit dan dominasi kekuasaan dapat dimaknai sebagai sebuah tanda supaya gereja menyeruhkan keadilan dan perdamaian, kesetaraan sosial serta kejahteraan warga. Dalam kerangka peringatkan, memperbaiki, pembaruan menuju kehidupan yang lebih berkeadilan dan berdemokratis.

Langkah-langkah kogrit fungsi gereja di tengah kemasyarakatan dari segi praktis gereja dan lingkup akademik[9];

  1.  Gereja Mengajarkan Spritualitas Pertobatan. Spritualitas pertobatan merupakan panggilan utama gereja dalam tujuan yang sangat umum. Dimana menghayati setiap peristiwa sebagai tanda sebuah panggilan Kristus agar gereja menyeruhkan Injil membebaskan dan pertobatan;
  2.  Mengembangkan proyek-proyek teologi relevansi isu-isu realitas sosial. Secara akademik lembaga-lembaga pendidikan teologia punya tanggung jawab moral untuk merumuskan teologinya berangkat dari fakta-fakta kehidupan sehari-hari kemasyarakatan. Sehingga rumusan teologisnya dapat mencerahkan kehidupan masyarakat, menginformasikan fakta-fakta sosial dalam upaya memperingatkan dampak buruk dan baik atas berlangsungkan kehidupan bermasyarakat. Serta menyediakan semacam langkah-langkah solusi yang bisa dapat ditempuh dari dampak-dampak bahaya; dan
  3.  Fungsi Kontrol Sosial. Anggota masyarakat yang sedang mengalami degradasi sosial juga adalah warga jemaat, karena itu gereja harus menjalankan fungsi kontrol sosial demi ciptakan suatu kondisi yang lebih baik.

D.  Makna Propheticall Voice

Prophetic Voice menurut terjemahan bebas dapat di artikan suara Profetik atau suara kenabian. Seruan para nabi bukan hal baru, tetapi sudah dilakukan sejak perjanjian Lama, misalnya oleh nabi Amos, Yesaya, Yeremia dan sebagainya. Para nabi melakukan kritikan untuk menyadarkan kepada penguasan dan orang-orang berpengaruh lain pada masanya akan dosa dan krisis yang sedang melanda bangsanya. Kemudian dalam konteks Perjanjian Baru, seperti Kristus dan Yohanes Pembabtis yang menentang kekuasaan manusia dan budaya serta sistem diktator kekaisaran Romawi yang sedang menjalankan dengan tangan besi yang membuat mereka menyeruhkan pertobatan.

Dalam konteks sejarah kehidupan umat manusia, para pemimpin keagamaan tampil secara individu dan keloktif menyeruhkan keperhatinan sosial atas suatu situasi publik. Beberapa yang bisa disebutkan disini adalah Martin Luther reformator protestan berkebangsaan Jerman, ia sangat piawai melawan indoktrinasi teologi Katolik yang memperdagangan keselamatan secara transaksional (indulgensi) di Roma melalui 95 dalil atau anti thesisnya pada abad ke-15[10]. R. S. Sugirtharajah seorang pakar Biblika yang rintis kritik studi Alkitab dan interpretasi suara-suara marginal yang terabaikan di Asia menentang hegemoni western[11], dan Muhamat Gandhi pemimpin keagamaan Budhah India, Marthen Ltuher King Amerika Latin dan Nelson Mandela Afrika Selatan yang memperjuangan hak politik bangsa kulit hitam melalui sistem perjuangan nir-kekerasan atau perjuangan tanpa kekerasan. Berkaitan dengan sikap kolektif, Christian Aid[12] melalui sebuah kajian telah menyebutkan bahwa suara Profetik adalah tindakan koletif bukan sekedar pidato atau teks namun harus merupakan tindakan yang diciptakan bersama komunitas yang mengartikulasikan tiga dinamika mendasar: keadilan, solidaritas, dan keimanan. Seruan gereja dilandasi pada anggota masyarakat sebagai satu anggota tubuh dan Kristus yang menjadi kepala (1 Korintus 12:27). Ketika satu anggota kelompok mengalami sakit anggota lain pun turut merasakan sebagai satu bagian anggota tubuh. Begitu juga keadilan sebagai obat pemulihan bagi keutuhan organ tubuh yang  kuat. Sikap gereja tersebut sebagai bentuk iman dan keyakinan kepada Kristus sejarah (Matius 25:36-46), dimana Ia sangat simpati terhadap orang-orang yang sedang menderita sakit, korban sistem yang menindas, mengangkat derajat masyarakat kelas renda serta mengadakan transformasi total terhadap jiwa dan sosial (Yohanes 3:16-18).

Seruan Profetik lingkup sekurel mendapatkan sebutan yang berbeda, yakni suara kritikan sosial. Pengubahan sebutan tersebut tidak mempengaruhi pada hakikat dan makna serta tujuannya. Suara kritikan sosial ini dikenalkan oleh Naftali Edowai dalam karyanya melalui refleksikan atas deklarasi teologi Papua[13]. Menurutnya Naftali dan Berthold Anton;  Suara kritik adalah penilaian atas keadaan suatau masyarakat pada saat atau waktu tertentu (Berthold Anton 2006, Naftali Edowai 2023). Sedangkan tujuan kritikan sosial menurut Edowai adalah untuk menyadarkan para penguasa dan orang-orang berpengaruh lainnya pada zamannya akan situasi dosa dan krisis yang sedang dihadapi umat atau bangsanya (Naftali Edowai, 2023, 1).

Bentuk seruannya beragam tergantung situasi dan tempatnya. Belahan dunia Asia dan Eropa Barat dikenal dengan pidato umum menyampaikan refleksi atas situasi publik. Misalnya Dewan Gereja Afrika Selatan hasil penelitiannya memperkenalkan metode teologis; “see-judge-act”, referensinya dikutip dari Mazmur 12:5, Yesaya 11:1-9, Yesaya 5:24, Lukas 4:18-19 dan Yohanes 10:10. Bahwa perlunya keadilan, kebenaran dan kedamaian adalah wujud nilai-nilai kerajaan Allah yang harus gereja hadirkan[14]. Metode Jalan salib (log March) adalah kegiatan akbar dan terpenting kalangan umat Katolik di dunia untuk menghayati penyiksaan dan penderitaan yang dipikul oleh Kristus, kemudian refleksikan Yesus yang menderita ke dalam konteks mereka melalui pembacaan renungan dan doa publik[15].

Pemimpin keagamaan lintas denominasi tanah Papua juga mengilhami dari semangat yang sama telah menggumuli situasi di tanah Papua dalam berbagai bentuk. Salah satunya melayankan suara-suara kritis secara individu dan bersama-sama para pemimpin gereja-gereja Injili di tanah Papua. Kritikan pemimpin gereja-gereja Papua yang amat populer dikenal dengan “deklarasi teologi Papua” rumuskan 8 butir mencakup[16]; 1) Sejarah Pepera sebagai sumber permasalah di tanah Papua, 2) sejarah kekerasan negara yang mengarah kepada genosida, 3) pengakuan dosa gereja atas tidak mempedulikan selama dekade sebelumnya terhadap kerawanan situasi Papua, 4) menyikapi situasi tanah Papua dibaca sebagai tanda jaman, tantangan teologi dan misiologi, 5) melaksanakan tugas panggilan gereja secara kogrit, 6) kegagalan pemerintah membangun Papua, 7) seruan kesadaran, mengambil peran oleh semua komponen masyarakat untuk perjuangan keadilan dan perdamaian tanah air, 8) serta  seruan solidaritas doa dan keperhatinan kepada dunia. Kumandangan rumusan teologi Papua tahun 2005 tersebut menyikapi segala bentuk sistem dan kebijakan penguasa yang tidak menghormati nilai-nilai humanis, kebenaran dan perdamaian, serta keadilan yang beradab.

        Karena itu, proptheticall voice dapat dipahami sebagai seruan moral dan etika yang bersifat penilaian atas suatu peristiwa dalam konteks dan kurung waktu tertentu atas persoalan publik, kemudian meresponi perlakuan yang tidak sesuai dengan standar nilai-nilai kebenaran dan hukum Firman Tuhan. Apa yang diharapkan dari sebuah kritikan tersebut merupakan mengingatkan para penguasa agar bertindak atau mengambil kebijakan secara adil terhadap rakyatnya.

 

ANALISIS MASALAH

A.  Keterlibatan Gereja

Berdasarkan pada pembahasan di atas gereja harus menyeruhkan Injil pertobatan, seruan moral agar meratakan jalan ketidakadilan sosial, mengangkat timpunan suara-suara orang yang sedang dimarginalkan supaya luruskan jalan ketidakadilan gender, diskriminasi berbasis sara serta kebijakan yang tidak berpekpihakan warga yang dipimpinnya. Atas penyakit sosial tersebut memberikan suatu pertanda yang akan dibaca oleh gereja sebagai persoalan teologis dan misiologis supaya secara aktif terlibat dalam ruang-ruang publik untuk menghadirkan suatu kehidupan masyarakat yang lebih baik (Matius 16:3b).

Meski sejak sebelumnya gereja ini dipersempitkan cakupannya hanya urusan privasi dari wilayah sekurelisme, akan tetapi kian hari di era ini peran agama lebih khusus gereja sangat diperlukan. Dalam perkembangannya, kini tidak lagi bermain di ruang rohani sentris terpisahkan dari sekurelisme, namun gereja semakin di tuntut peran dan sumbangan positifnya dalam hal keadilan sosial, perdamaian, Hak Azasi Manusia, politik, ekologi dan masalah kemiskinan.

Gereja sebagai lembaga sosial dapat mengembangkan unsur-unsur dan fungsinya di tengah kemajemukan suku dan agama, kelompok minoritas, komposisi biner, diskriminasi dan kekerasan, maka gereja harus menampilkan di ruang-runag publik dengan memberitakan Injil pertobatan dan menyampaikan suara kenabiannya sambil hadir sebagai teladan. Di tengah maraknya kekerasan segi ekonomi dan politik, produksikan narasi-narasi negatif yang diarahkan kepada suku bangsa pada kawasan tertentu yang dipopulerkan oleh media mainstream, peralihan wilayah adat, kekerasan atas nama agama di tanah Papua dewasa ini, maka suatu aksi nyata mendorong perubahan tatanan sosial dan kehidupan umat menjadi agenda amat penting bagi gereja untuk transformasi sosial.

B.  Kembangkan Suara Kenabian Atas Ketidaksetaraan Sosial

Atas patologi sosial tersebut di atas menyiapkan suatu lapangan pelayanan bagi gereja supaya dapat mengembangkan unsur-unsur dan fungsi untuk diagnosis penyakit sosial. Suara kenabian tidak diturunkan pada ruang kosong dan gagasan profetik semata, akan tetapi suatu tanggapan iman dan kasih terhadap suatu kondisi nyata yang sedang berlansgung dalam waktu tertentu.

Dalam konteks kitab suci maupun sejarah kehidupan umat Tuhan keprihatinan sosial telah dilakukan oleh pemimpin keagamaan. Para Nabi dalam konteks Alkitab maupun pemimpin keagamaan mereka menjalankan fungsi yang sama, yakni kontrol sosial. Karena kenyataan sosial yang mengarah kepada diskriminasi, kekerasan dan berbagai tindakan yang menyebabkan kemunduran, kesenjangan, kemelaratan, kebekuan yang tentu saja membawa kehancuran, gereja ingin upaya perbaikan. Karena itu, gereja tidak beranti (musuh) kepada pemerintah, lembaga serta orang-orang individu lainnya yang menciptakan degradasi sosial. Pada sisi tertentu elit sendiri pula memiliki kewenangan mengatasi persoalan yang dimaksud, karena itu kritikan sosial dapat menolong dalam upaya memperbaiki. Sebabnya tanggung jawab iman para pemimpin kagamaan lahirkan deklarasi teologi publik secara individu maupun pernyataan bersama berdasarkan kontemplasi (refleksi) yang mendalam terhadap realitas yang terjadi.

Wawasan kesetaraan perspektif teologis memiliki arti yang cukup luas dan mendalam. Keadilan bukan hanya menyoal equality subjektif perlakuan yang sama dari aspek hukum maupun kebijakan. Akan tetapi suatu hal yang melekat pada individu, penghormatan pada martabat manusia. Ketidakadilan sosial yang lahir karena paradigma sangkaan negatif dengan alasan SARA merupakan bentuk perlakuan menodai terhadap martabat manusia. Subordinasikan martabat manusia atas dasar perbedaan status dan golongan adalah formasi kapitalis dan kolonial. Berdasarkan anggapan subordinasi yang berdominan, menentukan dirinya sebagai pihak yang akan memperbaiki dan menentukan masa depan hidup pribumi tanpa memperhitungan potensi internal masyarakat. Ketika internal masyarakat berkeyakinan atas potensi mereka sendiri karena itu mereka punya wawasan sendiri untuk mengubah diri dan dunia mereka sendiri. Ketika mempunyai pandangan yang berbeda, penguasa akan membatasi semua akses berdasarkan perbedaan keyakinan dan harapan. Faktornya terjadi pada pengelolaan sistem. Misalnya dalam lingkup kecil layanan kesehatan tidak maksimal menyingkatkan angka kematian, merek huruf banyak terjadi pada anak karena guru tidak mengajar, dan mental dependensi karena pemerintah banyak menyediakan beras rasking sehingga masyarakat kurang produktif, ketergantungan melahirkan kemiskinan. Pada lingkup besar, pengelolaan sumber daya alam melibatkan perusahan ekstraktif menyebabkan peralihan wilayah adat dan kerusakan ekologis, kebijakan negara yang tidak akomodasi kepentingan rakyat serta berbagai perubahan sosial yang disebutkan di atas telah terjadi. Pada saat yang sama akan menyingkatkan praktek disfungsi, yakni kurang manajemen dalam pengelolaan sistem, korupsi, nepotisme dan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri dari kepentingan umum.

Oleh sebab itu, fungsi kontrol sosial harus dijalankan oleh gereja dengan niat baik, dengan refleksikan terhadap isu-isu sosial yang nyata, mengedepankan kasih, peduli terhadap keselamatan bagi kelembagaan dan anggota masyarakat, mengevaluasikan atas kebijakan yang tidak berkepihakan kepada masyarakat. Fasilitasi kritikan sosial dengan bermaksud penilaian (proteksi) terhadap faktual, memperingatkan kemungkinan kausalitas yang akan terjadi kedepan, mempertunjukkan penyakit sosial, mempertegaskan fungsi semula dan akuntabilitas. Gereja tidak menyebarkan kebencian, pembohongan tetapi berdasarkan refleksi (kontemplasi) yang menyeluruh lalu tampil di publik dengan gagasan-gagasan teologis, mekanisme dan solusi alternatif. Sehingga menciptakan kondisi keharmonisan, kedamaian, kebebasan, serta terpenuhinya keadian, kesetaraan serta kesejahteraan sosial. Keadialan dan perdamaian, dan harmoni kesejahteraan merupakan wujud kerajaan Allah. Gereja ingin menyebarkan nilai-nilai kasih, kebaikan, kebersamaan, penghormatan kepada martabat manusia serta memaklumkan Injil pertobatan (Matius 25:36-46, 28:19-20).

C.  Implikasi Seruan Gembala

Seruan-seruan yang di kumandangkan oleh pemimpin gereja dapat dilakukan atas niatnya bukanlah sikap anti terhadap pemerintah. Justru gereja peduli, karenannya berkendak untuk mengevaluasikan atas kebijakan yang tidak berkepihakan kepada rakyat. Akomodasi kritikan sosial bertujuan untuk penilaian atas eksistensi suatu sistem sosial, mengevaluasikan pola tingkah laku atau fungsi kelembagaan yang tidak berjalan semestinya, memperingatkan dampak-dampak bahaya yang akan melanda, menyeruhkan gagasan-gagasan-mekanisme dan alternatif solusi yang mengimbangi, memperbaiki situasi sosial yang lebih baik, serta mengembalikan fungsi sistem sosial pada posisi sebelumnya. Motif dengan kasih, kebaikan, membangun serta solutif. Sehingga menciptakan kondisi keharmonisan, kedamaian, kebebasan, serta terpenuhinya keadian, kesetaraan serta kesejahteraan sosial.

Suara gembala yang diserukan oleh gereja dalam fungsi sosial tersebut melandasi dengan proklamasi misi pelayanan Yesus di bumi (Lukas 4:18-19), wujudkan doa “datanglah kerajaan-Mu di bumi seperti di surga” (Matius 6:10), pesan Kritus kepada Petrus dan murid-murid-Nya “gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 10), seruan doa untuk kesejahteraan negeri (Yeremia 29:7), seruan Yohanes pembabtis di padang gurun (Lukas 2:4-6).

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan di atas maka suara kenabian merupakan fungsi kontrol sosial yang harus dijalankan oleh gereja sebagai tanggung jawab iman dalam tugas panggilannya. Di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk juga warga gereja, gereja dituntut supaya membuka diri dan terbuka terhadap situasi tersebut sebagai suatu pertanda kemunduran dari keadaan normal secara moral dan etika yang akan dibaca oleh orang beriman. Perjuangan yang hendak dilakukan gereja dalam semangat menciptakan keadilan, solidaritas, keimanan dan kebenaran bagi komunitasnya. Artikulasikan dinamika tersebut berdasarkan penghayatan iman kepada inkaranasi Kristus, Ia hadir dalam setiap kondisi manusia dan sangat peduli terhadap penderitaan orang-orang lemah (Matius 26:36-38).

Refleksikan yang menyeluruh dan mendalam atas realitas sosial gereja harus menyerukan Injil pertobatan, seruan moral agar meratakan keadilan bagi seluruh komunitasnya (rakyat/warga gereja), luruskan prasangka komposisi biner dengan mempertegaskan martabat dan kesetaraan manusia, timpunkan lembah dan mengangkat suara orang-orang yang sedang terpinggirkan supaya memantapkan jalan ketidakadilan sosial, kebal hukum, kerusakan ekologi dan deforestasi, peralihan tanah adat milik warga masyarakat bisa segera diatasi (Lukas 3:4-6).

Dengan demikian, menjalankan keteladanan hidup gereja sebagai lembaga spritualitas di tengah kehidupan sosial, menyampaikan pesan Injil pertobatan (mengarami), merampatkan dalam penyelenggaran unsur struktur gereja tentang nilai-nilai adil, toleransi, kasih, kebenaran dan kedamaian serta equality menjadi gaya hidup kemasyarakatan (Filipi 2:15). Dalam kerangka peringatkan, memperbaiki, pembaruan menuju kehidupan yang lebih berkeadilan dan berdemokratis. Sehingga menciptakan kondisi keharmonisan, kedamaian, kebebasan, serta terpenuhinya keadian, kesetaraan serta kesejahteraan bagi seluruh komunitasnya.

 

DAFTAR PUSTAKAAN

Buku

1.   Franz Fanon- Tej; Muhammad Taufiqurrohman: KEBUDAYAAN DAN KEKUASAAN, Yogyakarta: Resist Book 2018;

2.   Dr. Mansour Fakih: ANALISIS GENDER & Transformasi Sosial. Pustaka Belajar, Yogyakarta 2013;

3.   Louise Warwick-Booth: KETIMPANGAN SOSIAL. Sage di Los Angeles, 2013

4.   Sosiologi Untuk Universitas, 2018

5.   Benny Giay: SEKITAR GAGASAN PI BARU – Bacaan Peserta Konperensi Sinode KINGMI 19-25 Oktober 2015. Abepura Jayapura: Penerbit Deiyai, 2015

6.   Alkitab, Terjemahan Baru (TB). Yogyakarta: LAI 1974

7.   Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya: Serbajaya

8.   R. S. Sugirtharajah, WAJAH YESUS DI ASIA. BPK Gunung Mulia, Jakarta

9.   Naftali Edoway, 2023; KRITIKAN SOSIAL PIMPINAN GEREJA-GEREJA PAPUA – Refleksi Deklarasi Teologia Papua, Penerbit Deiyai, jayapura, 2011

 

Jurnal dan Artikel

1.      Dominggus Pigay: Junal Amole bertemakan; Refleksi Pekabaran Injil dan Hak Azasi Manusia. Edisi perdana: Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura, 2012;

2.      Hengki Wamuni: PERAN GEREJA TERHADAP PERMUSUHAN PADA SUKU MONI. Naskah Skripsi: Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura, 2022;

3.      Christian Aid, (2019); Prophetic in Brazil for a Theology of change;

4.      Jurnal Teologi, (2019) Unisa: http://journals.ufs.ac.za/index.php/at di akses 6 Desember 2019.

5.     https://www.imankatolik.or.id/jalansalib.html#:~:text=Lewat%20Jalan%20salib%20ini%20kami,besar%20cinta%2DMu%20kepada%20kami. Diakses 2018

 



[1] Franz Fanon- Tej; Muhammad Taufiqurrohman: KEBUDAYAAN DAN KEKUASAAN, Yogyakarta: Resist Book 2018, 88

[2] Dr. Mansour Fakih: ANALISIS GENDER & Transformasi Sosial. Pustaka Belajar, Yogyakarta 2013, 12.

[3] Louise Warwick-Booth: KETIMPANGAN SOSIAL. Sage di Los Angeles, 2013, hlm 2.

[4] App KBBI Offline 1.5.1_Fungsionalisme

[5] Sosiologi Untuk Universitas (hlm 393)

[6] Benny Giay: SEKITAR GAGASAN PI BARU – Bacaan Peserta Konperensi Sinode KINGMI 19-25 Oktober 2015. Abepura Jayapura: Penerbit Deiyai, 2015,  18.

[7] Dominggus Pigay: Junal Amole bertemakan; Refleksi Pekabaran Injil dan Hak Azasi Manusia. Edisi perdana: Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura, 2012, 8.

[8] Alkitab

[9] Hengki Wamuni: PERAN GEREJA TERHADAP PERMUSUHAN PADA SUKU MONI. Naskah Skripsi: Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura, 2022, 30-35.

[10] 95 dalil

[11] R. S. Sugirtharajah, (2011): WAJAH YESUS DI ASIA. BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm 13.

[12] Christian Aid, (2019); Prophetic in Brazil for a Theology of change, hlm 14. Cristian Aid adalah salah satu badan pengembangan dan kerja sama Internasional Brazil.resmi dari 41 gereja Protestan berkedudukan di Inggris dan Irlandia menjalakan proyek bersama menyesuaikan dengan kondisi publik masyarakat peratian utama  Asia, Afrika dan Amerika Latin.

[13] bukunya yang baru diluncurkan STT Walter Post Jayapura (2023) dengan judul; KRITIKAN SOSIAL PEMIMPIN GEREJA-GEREJA PAPUA – Refleksi “Deklarasi Teologi Papua”, diberikan pengantar oleh Dr. Benny Giay, Ph.D.

[14] Jurnal Teologi, (2019) Unisa: http://journals.ufs.ac.za/index.php/at di akses 6 Desember 2019, hlm 19-20

[16] Naftali Edoway, 2023; KRITIKAN SOSIAL PIMPINAN GEREJA-GEREJA PAPUA – Refleksi Deklarasi Teologia Papua, Penerbit Deiyai, jayapura, hlm 2-8.

Komentar