DUKA DALAM NATAL
(Reflesing; Hari Suci yang Dinodai Dosa)
By Hengki Wamuni
Damai milik mereka, sukacita milik mereka. Piluh, dukacita, nestapaan dan tangkis milik kami. Hujan tangisan membasahi bumi papua dan semua orang mengalami duka dan rasa kita bersama. Bayang-bayang yang samar hamparan suramnya hidup ini. Hidup ini keterpaksaan mereka dan bukan pillihan kami. Harapan hidup sudah ditelang oleh bencana tanah ini tanpa kasih sayang oleh sang ratu-ibunda. Barangkali tampak cawa, tawa yang menghasi wajah menutupi luka parah yang tak ada harapan sembuh? Sakitnya sampai menyusuk jiwa. Ku terus bertanya-tanya apakah Tuhan mula bosan jika kita masih terus hidup atas keterpaksaan mereka dan bukan pilihan kita di atas tanah leluhur kita sendiri?
Hari akbar orang Kristen di seluruh dunia telah menyambut bulan Natal yang penuh sukacita. Menyambutnya hari berkah profan kedamaian, mengosongkan diri untuk mengambil sikap syukur menghayati konfiguras dan Inkarnasi Tuhan dalam rupa wujud manusia (Efesus 2:5-8). Syukur dan hayati perbuatan tertinggi kasih Allah akan dunia ini, orang Kristus memuji Tuhan dalam bentuk yang berbeda sesuai makna yang diberi-artkan masing-masing tentang Natal, baik secara personal maupun kelompok dan organisasi sebagai orang percaya (Yohanes 3:16-17). Semua orang interaktif pada jejaringan sosial, buat postingan dan membagikan salaman bulan Natal yang berisi sapaan kata-kata sertai bernada damai dan sukacita yang jauh berbeda dengan kondisi kekinian. Menuliskan kata-kata membingkai mutiara indah berisi makna betapa sukacitanya dalam moment Natal. Itu baik pada intinya tetapi melupakan sebentar dengan kondisi kekinian yang menghantui kita, entah sengaja ataupun tidak, atau memang tidak ada pikiran untuk meluangkan satu menit menuliskan kenestapaan orang papua. Tidak papa entahlah pilihan juga hak kebebasan personal.
Seluruh dunia dalam konteks mereka hari ini, keragaman variasi tindakan kerelaan hati umat kristen dalam momen hari profan, Ia menerimanya sebagai kemuliaan bagi namaNya, semua tindakan kebaikan. Bagimana dengan kita orang asli papua dalam konteks yang diwarnai oleh tangkisan dan duka pilu yang tak kunjung berhenti dan semakin meningkatnya secara masif yang membuat kita kondisikan tidak berdaya secara sikis dan fisik berujung pada kekwatiran nasip bagi orang asli Papua?
TUHAN sedang gelisah dan memperhatikan orang Papua yang terus menjadi sasaran subjek pembangunan atas nama kegiatan ekspansif pendekatan securitisasi mengawal kepentingan-kepentingan yang terselubung (Keluaran 3:7). Indikasi kepentingan sosio-politik ekonomi melahirkan krisis kemanusiaan di tanah papua. Sementara para pelaku kejahatan berlindung di balik ekstrimis penguasa Jakarta. Tidak ada keadilan dan suara pembelaan bagi korban secara dejure. Tindakan bias dan tatik oleh aktor rekayasa secara sistemik dan struktur melumpuhkan mind set akal sehat para otoritas di tanah ini yang jelih melihat realita papua dengan beragam bentuk pendekatan yang dimainkan oleh boneka buatan pemerintah Indonesia yang bermuka rasis dan militeristik. Mereka bermain di arena sikologi pendekatan tawaran jabatan dan mekarkan wilayah daerah administrasi baru. Manfaatkan orang asli papua sendiri untuk menjual dirinya sendiri, karena akal sehatnya sudah dibius mati oleh para berkepentingan di dalam dengan berbagai tawaran atau juga tekanan barangkali. Sehingga secara langsug maupun tidak langsung menciptakan kultur menerima kenyataan begitu saja tanpa suara kritisan atau pembelaan diri dan membuat tidak berdaya untuk mengungkapkan rasa kesakitannya. Begitu saja menerima kenyataan itu. Nyatanya menjadi ikan mati di arus air yang hendak ikuti arus air dimana ia terbawanya tanpa melawan arusnya. Demikian pula otoritas sipil memilih prosentrisme kepentingan diri sendiri. Mau yang bermega dan berjaya di atas penderitaan bangsa dengan nurani yang kosong.
Melihat faktual awal tahun 2018 -2021 di Nduga, 2019-2021 di Intan Jaya, 2021 Puncak Papua, Mybrat, pegunungan Bintang (Kiwirok), dan Yahukmo berada dalam penjara gungsi dan memutuskan segala akses. Kedamaian itu digantikan dengan kematian orang papua yang secara misterius sertai duka yang mendalam, penangkapan secara sewenang-wenang warga sipil klaim TPN-PB hingga hilang jejak tanpa keluarga mengetahui keberadaanya dan atau adopsi dari kata hukum yang disebut “kehilangan paksa”, pergi meninggalkan rumah dan segala kekayaan. Warga sipil, baik jomplo maupun yang sudah berkeluarga berlakukan pelecehan oleh aparat militer Indonesia. Gua dan hutan menjadi rumah mereka. Dingin, panas, nyamuk, dan lapar menjadi makanan keseharian mereka di hutan berantara. Tidak bisa mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan pastoral untuk restorasi keadaan sikologi mereka. Mereka juga diharapkan tangan-tangan kasih tanpa kepastian harapan dari semua komponen masyarakat papua. Bagian kepedulian (Empati) kita terhadap mereka tentu melihat dari beragam pendekatan sesuai posisi kita berada hari ini. Rasa empati itu sesuai tempat atau gaya masing-masing ini harus diupayakan. Upaya ini dilihat sebagai bagian dari integral secara sprit tetapi juga budaya dan sosial harus dibangkitkan semangat humanisiasi. Tindakan kogritnya melalui Doa kepedulian, bantuan bentuk sembako yang layak guna serta dana bagi keluarga kita yang hidup dalam pembuangan di hutan rimba. Ada banyak warga umat Tuhan yang meninggal di tempat pengungsian karena sulit mendapatkan layanan kesehatan. Terutama lensia dan anak-anak kecil.
Secara umum faktor penyisiran dan operasi militer di enam kabupaten provinsi Papua dan Papua Barat, akibat dari itu setidaknya seruan moral Dewan Gereja Papua (WPCC) telah mencatat sekitar 60.000 (enam ribu) warga lebih umat Tuhan mengungsi. Banyak anak-anak dan ibu-ibu menjadi korban dan meninggal dunia saat penggungsi (2021, hal 2).
Kabupaten Intan Jaya 25 Oktober 2019, selama dua tahun telah menelan korban 47 orang dan setidaknya 28 peristiwa secara langsung keterlibatan dua oknum milter Indonesia dan gerilya TPN-PB (Seruan Moral Dewan Gereja Papua; 2021, hal 2).
Bertolak dari fakta-fakta terbaru ini, ada keserupaan cerita tangisan dan ratapan Rael yang amat sedih di kota Rama di Betlehem (Matius 2:18). Rael adalah Ibu banngsa-bangsa, yang mengambarkan kasih Allah kepada dunia-orang asli papua (Yohanes 3:16). Dalam bagian ini tersirat kepedulian Allah terhadap umat Tuhan yang mengalami penindasan. Tindakan kesetiaan Allah atas umat pilihanNya kita lihat secara gamblang terhadap bangsa Israel di Mesir. Allah punya renca besar dalam konteks yang diwarnai sistem penindasan atas sesamanya. Karena kekerasan terhadap sesama manusia adalah secara langsung menyerang Tuhan. Manusia itu secara spritual, natural dan moral serupa sepertiNya, Ia akan merasakan dan gelisah ketika ciptaan segambarNya dibantai dan dibunuh seperti hewan tak bertuan. Ia juga mempunyai rancangan besar kedepan yang penuh harapan dan bukan rancangan yang melukai (Yeremia 29:11).
Musa tidak mau bermegah dalam kerajaan Mesir di bawah pemerintahan Firaun. Harga diri bangsa Israel lebih penting dan mulia dari pada menjadi pejabat penting sebagai mendapatkan premis yang bergaya di atas penderitaan bangsanya. Malah ia lebih memilih mau korban keluar dari zona nyaman demi pembelaan martabat bangsanya. Musa punya cita-cita yang lebih ideal. Ia memiliki cita-cita mau memimpin bangsa Israel menjadi bangsa yang berdaulat di tanah perjanjianNya di tanah Kanaan, yakni simbolik rancangan Allah yang penuh dengan damai sejahtera. Segalah kekayaan berlimba ruah.
Berangkat dari faktual dan sejarah penderitaan yang panjang memberikan kita perenungan dan hayatan yang bisu; bahwa apakah kita punya hati nurani yang sama seperti Musa. Melihat harga diri bangsa Papua yang lebih mulia dari pada jadi koki penguasa dalam kemewahan dana otsus dalam lakon NKRI harga mati.
Hari ini saatnya anak negeri papua harus sadar diri dan bangkit menjadi Yohanes-Yohanes pemberani melawan sistem imperium dominium untuk menyatakan harga diri bangsa. Sambil membangun di atas kaki Yesus Kristus dan kebenaran sebagai dasar inisiator emanisipasi. Semoga semua unsur komponen masyarakat papua sadar diri, sempurnakan hati nurani kita sekalian untuk bercita-cita memimpin bangsa Papua berdaulat. Tidak ada kekuatan bukanlah sewajarnya penyesalan, tetapi ketika anak bangsa papua sadar dan bangkit berdiri di atas landasan kaki Kebenaran Firman Allah dan berani menyatakan kebenaran, maka kebenaran itu akan dimerdekakan oleh kebenaran itu sendiri (Yohanes 8:32).
DISABILITAS KENYAMANAN NATAL
Bangsa Papua dan masyarakat kabupaten Intan Jaya pada khususnya memiliki hak dan nasip yang sama sebagai warga negara Indonesia. Terutama hak untuk hidup, bebas tanpa ada diskriminasi, dan hak menganut agama dan menyelenggarakan perayaan hari raya sesuai kalender agamanya. Maka negara memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan melalui melayani, mengayomi, dan menjaga stabilitas sosial. Sebagai pengabdian kepada negara melalui berbakti demi penegakan dan menjunjung tinggi semboyan bhinneka tunggal Ika dan mempromosikan pancasilais. Namun demikian, nyatanya hal ini tidaklah terwujud dan realisasi. Negara sendiri menciptakan kondisi ketidaknyamanan dan perpecahan yang berujung pada gangguan psikologis dan membahayakan fisik. Akhirnya terjadi tsunami evakuasi paksa dan penggungsian tiga ribu lebih warga terpaksa harus meninggalkan rumah, halaman, kebun, hewan piaraan, air dan hutan sumber kergantungan hidup. Mereka selalu berada dalam suasana hati yang trauma dan panik. Mereka mandi hujan gantikan air untuk dimandi, nyamuk untuk mengantikan bandal dan selimut. Buah-buahan dan daun pepohonan liar menjadi makanan. Mereka lihat di atas ada langit dan mencucurkan air mata membasahi pipinya, melihat ke bawah ada tanah yang menutup cacing yang membahayakan bagi tubuh kesehatan. Air mata dan traumatis mengantikan sukacita Natal. Bunyian senjata mengantikan bunyi petasan kelap-kelip terus bergunjang gunung saling berlanggaran.
Dalam realitas inilah Yesus raja damai itu telah lahir di kandang hina tengah-tengah masyarakat Intan Jaya. Dalam konteks kehidupan yang keterpaksaan mereka dan bukan kehendak yang semestinya, refleksi kelahiran raja damai sangat penting. Namun demikian, hal itu tidak terjadi karena tengah situasi gelombang pengungsian dan tangkisan yang dilanda duka piluh hiraukan momen terpenting. Pada setiap kalender hari Akbar penganut Kristen, menjadi waktu yang tepat untuk mengoreksi diri dan keluarga tentang kenangan perjalanan kehidupan, berhubungan dengan apakah ada perilaku dan tindakan yang menyimpang dan melalaikan panggilan hidup dan tanggung jawab yang dimiliki sebagai kepala rumah tangga, pemimpin suatu organisasi/lembaga sebagai pertanggungjawaban iman dan kasih kepada Tuhan yang mahakuasa untuk menata kehidupan yang lebih baik kedepan. Akan tetapi, nyatanya momen terindah kedamaian dan sukacita itu tidak dirasakan. Mereka urus keselamatan diri dari penyisiran dan pengejaran klaim TPN PB. Dari dua aktor dominan antara TNI dan TPN PB mengakibatkan pada meningkatnya kasus pelanggaran HAM berat dan melanjarkan tsunami pengungsian. Akibat peristiwa ini mereka mengalami trauma dan panik. Terasa tak ada harapan masa depan mereka. Oleh sebab itu, kelahiran Yesus di Betlehem dalam kandang yang hina memaknai memancarkan bterang harapan di tengah kegelapan tengah hiruk-pikuk suara duka dan tangkisan yang secara fisiknya mereka tidak melaksanakan sebagai ekspresi iman dan kasih.
Kemanusiaan kita tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya profesi dan kemampuan pengelolaan pikiran untuk menata dan merancang kehidupan sebagai manusia yang memiliki rasional (homo rasio). Siapa yang mengancam hak hidup terhadap sesama merupakan sebuah penyerangan secara langsung terhadap Allah yang mahakuasa sebagai Tuhan yang memiliki hak otoritas atas kehidupan dan kematian manusia. Tuhan gelisah melihat kenyataan ini. Tuhan juga mengutus para hamba-hambaNya untuk menjaga dan memberi makan. Akan tetapi masih bertanya-tanya siapa mereka yang Tuhan utus? Atau kesalahan mereka yang Tuhan bosan jika masih terikat dosa.
Tentunya setiap pekerjaan yang dirancang memakai parameter hegemoni bias plutokrat dan para berjuis tentunya akan pengabaian hak dan nasip sipil. Akhirnya berujung pada pemberontakan amuk masa bukan dalam demonstrasi saja tapi juga menyatakan sikap tolak atas kebijakan dan regulasi yang hadir sebagai gaja raksasa menginjak-injak rumbut di bawah tanpa perduli teriakan. Itulah yang terjadi di kabupaten Intan Jaya. Rencana penggarapan emas oleh PT BLOK B WABU melahirkan krisis kemanusiaan. Maka sebelum menyiadakan wacana kehadiran PT BLOK WABU INTAN JAYA, tidak ada harapan kondusif keadaan Intan Jaya. Dan akan membahayakan keselamatan dan masa depan suku bangsa orang Moni.
Yesus juga pernah mengalami pengungsian hindari dari rencana jahat oleh raja dunia yang jahat. Tetapi rencana raja jahat itu tidaklah menang. Kristus adalah raja damai dan kebenaran. Ia raja yang maha tinggi. Dia telah mengalahkan sisasat tatik penguasa bumi.
..... Rael dan hubungan dengan kondisi kekinian. Komparasi nasip dan harapan bangsa Yahudi dan masyarakat kabupaten Intan Jaya.
“salam dariku - Selamat Natal dalam Duka”
Komentar
Posting Komentar