MENGAMBIL TANGGUNG JAWAB
(DEKOLONISASI SEJARAH DAN PENGETAHUAN- UPAYA MEMBANGUN TEOLOGI INDIGENISASI PAPUA)
Abstarc
Pemain lama telah mempergunakan berbagai pendekatan lain untuk menduduki tanah ini dengan visi mengangkatan bangsa yang kafir, terbelakang, dan kafiar dengan sistem barbar keterlibatan kemanan Nasional Indonesia yang berperan penting secara masif dan kolektif mempergunakan sistem penjajahan modern semakin menumbuhkan pelanggaran HAM berat sejak tahun 1960 hingga saat ini tidak ada keadilan. Atas nama ekspansi kepentingan ekonomi politik yang bercorak Nasional dan internasional telah memusnahkan budaya, identitas ras dan etnis dan manusia secara fisik serta telah memisahkan dari keutuhan dan kekerabatan menghadirkan konflik perang yang di aduh dombakan oleh oknum yang pemangku kepentingan. Maka Injil adalah berita yang kesukaan yang utuh dan menyeluruh bertanggung jawab terhadap keutuhan seluruh ciptaan Tuhan yang sunggu amat baik sebagai Kairos dan berEngaged.
Kata Kunci: mengambil ahli, dekolonisasi pengetahuan dan sejarah.
PENDAHULUAN.
Dalam pembahasan ini penulis tidak bermaksud untuk menjelaskan struktur pertahapan sejarah orang papua. Dalam pembahasan ini berfokusi pada peran gereja berkontribusi dalam perubahan sosial-budaya, ekonomi-politik dan keagamaan luar yang menghilangan kekayaan filosopi, history dan religius masyarakat pribumi. Membangun dekolonisasi pengetahuan sejarah dan budaya dalam rangka menemukan jati diri (energi) yang telah dihilangkan secara paksa oleh gereja dan pemerintah. Adanya dua kekuatan besar memainkan perang signifikan menyingkirkan budaya dan mengrusakan manusia dan kehidupan yang secara cepat menuju ke ambang pintu kehancuran.
Bahwa kekuatan-kekuatan luar yang menganjam eksistensi kita manusia dan kehidupan itu dipandang sebagai persoalan teologis. Gereja sebagai institusi Allah dalam implementasi dan akuntabilitas mencerminkan atau menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah dunia yang dikacaukan pemahaman dan pandangan mendominasi masyarakat pribumi.
Dengan adanya persoalan ini kita harus berubah untuk menjadi kuat dengan memperjuangan proyek-proyek teologi indigenisasi dan mengangkat kembali jati diri kita dalam terang Injil sebagai berita yang memberikan pemulihan, mengangkat dan memberikan kebebasan setiap manusia dari cengkraman dosa struktural dan sistem yang menindas. Itu yang disebut sebagai pegang kendali kehidupan dengan formulasi “tiga formula diri” untuk mengatur dirinya sendiri (Kepemimpinan), mendukung dirinya (Moneter) sendiri dan mengembangkan dirinya sendiri (Penginjilan) atas dasar perspektif dirinya mengenai dirinya untuk dirinya mengangkat jati diri dan nasip kita untuk bebas bukan secara politik tetapi dalam semua segi; pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, Sejarah, HAM dan berbagai aspek dan sektor sebagai bagian mengembangkan teologi lokal secara holistik.
ADA APA DI SINI (DI TANAH PAPUA)? SEJAK 1855-2022!
Gereja telah lama ada dan membisu (Membiarkan Kesan) terhadap realitas sosial membantai manusia seperti hewan dan menjadi makanan amunisi milik Indonesia. Agama datang dalam tengah situasi perampadan, pengayauan dan perdagangan manusia oleh kerajaan Nusa (Sultan Tidore, Majapahit dan konsultan) memperdagangan manusia papua sebagai upeti ke negara Cina.
Sebelumnya para pendatang menganggap orang Papua itu primitif, bodoh, kotor, yang masih hidup di atas pohon dan kanibal, telanjang dll. Maka mereka mengangkat dirinya sebagai pihak yang mengangkat peradaban orang Papua dengan mengajarkan ajaran dan agama baru dengan mempengaruhi mereka pandangan-pandangan bias barat. Anggapan label stigmatisasi menganggap tradisi dan pandangan hidupnya masih kafir dan perlu perubahan dengan cara yang memaksakan ajaran agama dan nilai-nilai baru yang pada gilirannya harus memusnahkan dan meninggal tradisi mereka untuk menerima semua yang baru. Orang Papua telah menerima pekabaran Injil itu dengan terbuka, indikasinya mereka telah menyerahkan alat-alat sakral, patung-patung dan diserahkan kepada para zendeling untuk dimusnahkan sebagai alat penyembahan berhala. Tempat keramat telah dirusak. Sebagai akibatnya orang mati banyak dan tertimpa berbagai jenis sakitan, pengrusakan tempat pengelolahan lahan yang layak oleh longsor dan kelimpahan ekonomi telah hilang. Sehingga sebagai konsekwensinya mereka harus menanggung banyak nasip malang bencana alam maupun krisis sosial budaya, ekonomi politik dan agama tradisional mereka yang sudah yakini lama sebelum ajaran baru datang. Sekiranya menerapkan dengan metode lain tanpa menganggap dirinya sudah beradab untuk biarkan Injil itu terserap senti-senti pandangan hidup dan kebudayaan serta sejarah dan religius maka Injil itu cepat mekar di tanah ini. Karena pada prinsipnya manusia sudah memiliki sifat turunan sebagai manusia yang homo religius, sudah ada pengalaman hidup dan figur dalam mitos yang berperan sama seperti sosok Kristus di Perjanjian Baru. Maka kegiatan PI bukanlah sasaran untuk menghancurkan budaya dan pandangan hidup dan tatan hidup yang sudah terbangun, akan tetapi mengalihkan pandangan dari melayani dosa kepada melayani Kritus yang benar tanpa menghilangan keaslian yang terdapat pada masyarakat pribumi. Tetapi jika menganggap manusia dan apa yang mereka miliki adalah kafir yang harus diberadabkan dengan paksa sesuatu yang berlainan maka membangkitkan gerakan kebangkitan menantang mereka. Itulah sebabnya, maka gerakan renaisans itu bukanlah lahir dalam dunia yang kosong dalam upaya mempertahankan cara-cara lama seperti anggapan para pendatang, tetapi salah satu upaya mempertahankan dan memperjuangkan kembalikan energi yang telah berusaha dihilangkan oleh mereka yang beranti dengan barang milik kita.
Pemahaman dan pandangan yang superioritas itu membuat agenda-agenda dan skema perubahan yang mereka inginkan bagi masa depan kehidupan orang papua. Mereka mengangkat diri mereka sebagai penyelamat yang di butuhkan untuk membuat orang papua beradab. Pandangan semacam itu menjadi asumsi dasar dari misi pemberadaban (Civilizing Mission) para misionaris barat, penjajahan orang Eropa, ekspansi imperialisme Amerika dan berhala pembangunan Indonesia pada dewasa ini. Mereka datang sebagai bangsa yang beradab mengangap dirinya sebagai inovator dan sebagai subjek yang berdaya[1].
Di papua barat sejak abad ke 12 sudah kontak budaya dan masyarakat luar. Bahwa pada faktanya tidak pernah terjadi kesetaraan orang Papua dan para pendatang tadi. Maka Papua menjadi lahan dan obyek perampokan, pengayauan dan perbudakan sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit orang Papua diperlakukan sebagai budak. Negara Nusa dari Seram Timur dan Maluku yang saat itu tunduk kepada Majapahit, Ternate dan Tidore berabad-abad lamanya telah membangun tradisi mengayau dan merampok serta menangkap orang Papua (Tua, mudah, laki-laki dan perempuan) untuk membersembahkan sebagai upeti atau diperjualbelikan sebagai budak. Dalam sejarah, Siriwijaya pernah pernah mengirim 100 orang budak ke Cina sebagai upeti. Demikian juga Majapahit mengirimkan 300 lebih orang hitam ke Cina dalam tahun 1381. Tahun berikutnya, Majapahit mengirimkan 100 orang budak berkulit hitam ke Cina sebagai Upeti[2].
Pada awal Indonesia masuk tahun 1960-an, pemain lama wajah baru memainkan praktek yang sama. Dan diposisikan semua orang, baik Gereja, LSM, Pejabat yang mengkritisi kebijakan atau proyek NKRI dan aturan dicurigai sebagai pendukung Papua Merdeka. Dalam bulan September 1966, militer menuding Sinode Gereja-gereja; GKI, Kingmi Papua, Katolik-Keuskupan Jayapura, sebagai pendukung separatis dengan menerbitkan sebuah Laporan Rahasia berjudul; Penerbitan Kegiatan-kegiatan Missionary di Irian Barat[3]. Tidak beda hanya menganti wajah atau “perbuatan tindaklanjutan” pemain lama, para Indonesia sejak awal 1960-an mengangkat dirinya sebagai kaum beradab dan memposisikan Papua sebagai bangsa yang primitif, bodoh, pemalas, hidup di atas pohon, telanjang dan stigma lain yang ditembelkan kepada orang Papua menjadi dasar pijakan membangun rasis yang sistemik dan struktur dari watak-watka yang diresapi rasis tadi sampai kinipun di rasakan.
Maka dinamika siasat perlakuan kekerasan tersebut membangitkan kesadaran bangsa papua perlawanan berbagai kalangan dan unsur bangsa papua tahun 1980-an melawan “perbudakan terselubung” terhadap papua, yang dilakukan untuk menghancurkan martabat papua yang mengara pada pemusnahan etnis. Dinamika perubahan tersebut membuat papua menjadi situs kekerasan dan ratapan yang mengobar-abirkan perlawanan dari kalangan berbagai unsur sebagai pembelaan diri atas penghancuran sejarah, budaya, identitas dan berbagai konflik horizontal yang telah suguhkan konflik perang antar sesama membuat degradasi sosial dan pembedaan antar satu terhadap yang lain di antara orang Papua sendiri.
Orang Papua yang menempuh pendidikan perguruan Tinggi di Belahan Indonesia juga mengalami rasis secara langsung tahun 1980-an.
Dalam tahun 1980-an Jakarta membangun dua pendekatan, yakni pendekatan Dearah Operasi Militer (DOM) dan membancirkan Transmigrasi besar-besaran ke papua dengan maksud “mengangkat taraf hidup Papua agar bebas dari penyandang sosial dan masalah-masalah sosial tadi” sebenarnya kita klaim ada visi terselubung. ABRI sekarang TNI/Porli menggunakan kekuasaan sewenang-wenang untuk membersihkan siapa saja dan lembaga yang dipegang bangsa Papua di posisikan sebagai OPM dan pendukungnya[4]. Yang menjadi sasaran korban teror, penyiksaan dan pembunuhan yang di alami guru, Mantiri adalah orang papua asli dengan tudingan sebagai pendukung OPM sejak tahun 1980-an. Misalnya Guru Robby Yogi kepala SD YPPGI Obano Kabupaten Paniai, ia di bunuh saat datang ke rumahnya di Enarotali untuk mengambil gajinya[5].
Tahun 1979-1982 pemerintah menetapkan Papua sebagai daerah operasi militer sambil melakukan transmigrasi penduduk Jawa dan Bali yang padat ke tanah Papua, dari dasar pijakan berbau rasis mengangkat penyandang sosial. tujuan transmigrasi adalah politik ras (Pemusnahan etnis Papua) dan keamanan negara. Dampak dari kebijakan transmigrasi ini terjadi perampasan tanah leluhur papua secara sewenang-wenang. Ada juga program transmigrasi warga di pandang sebagai kegiatan mengisalmisasi papua. Sekalipun program tansmigrasi itu untuk mengangkat taraf hidup orang papua seperti mereka yang menganggap dirinya bangsa yang beradab, namun kenyataanya mereka tidak memiliki kepandaian mengelolah tanah dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari mereka memakai bahasa jawa, sumatera dll. Sehingga realitanya kebijakan tersebut sebuah upaya sadar bukan saja memusnakan etnis tetapi juga telah merusakkan pusat ketergantungan kehidupan, akhirnya mereka sendiri menjadi tebusan tanahnya sendiri ketika mereka menolak menyerahkan tanah hak ulayat mereka.
Program tersebut juga bangsa papua terutama gereja menilai sebuah upaya terselubung menyingkirkan papua baik dari sisi agama, kebudayaan maupun etnis-atau marginalkan dalam segala bidang. Mengapa? Karena mereka membawah kekuatan-kekuatan sosial budaya, ekonomi, politik dan kebudayaan yang berbeda dengan orang papua yang menganjam eksistensi kebudayaan dan keberagaman bangsa orang asli Papua.
Sebagai akibat dari tsunami budaya dan sosial-politik bias pendatang, itu kemudian menganjam budaya dan kehidupan itu menyebabkan ribuan orang mengungsi ke Papua New Guine (PNG) antara tahun 1980-an.
Gereja yang berbasis di pegunungan Tengah; seperti Kingmi Papua, GIDI, dan PGBP-Babtis Papua juga mendapatkan target termasuk Guru, perawat/Mantiri yang berpotensi mendukung OPM. Tidak ada pilihan lain selain menyerah dan kompromi atau melawan. Ketika gereja berhadapan dengan kenyataak kekerasan demikian, beberapa Gembala yang ikut terlibat melawan kekerasan tadi. Contohnya Lematin Baminggen seorang Pdt gereja GIDI di Bokondini Kelila Kabupaten Tolikara bergabung dengan melawan kejahatan Militer pada tahun 1977 membumi hanguskan puluhan kampung dan gerejanya[6].
Sebagai tanggapan gereja menghadapi papua yang penuh kekerasan dan gejolak menjadi promotor bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi nonPemerinntahan sebagai bagian pembantu gereja yang berperan khusus untuk menyikapi beragam realitas sosial dalam upaya menyadarkan atau meyakinkan masyarakat dan memperjuangan papua zona damai, di antaranya, Yang Pertama Mahasiswa Papua yang menempuh pendidikan di STT di Jakarta mengadakan kontak dengan George Aditjondro dan aktivis WALHI dan mengangkat isu kekerasan yang terjadi di Papua. Mahasiswa tersebut di antaranya Phil Karel Erary, Pdt. Wim Rumsarwir, Herman Saud dll[7]. Kelompok inilah yang belakangan mendirikan STIE Otto Geissler dan kemudian bekerja sama dengan gereja Katolik mendirikan LSM: YPMD dan LBH dll. Sikap gereja yang kogrit setelah mendadakan pertemuan menemukan beberapa akar masalah tentang pengabaian hak dan beberapa masalah lainnya. Setelah menemukan masalah-masalah urgensi untuk menindak-lanjuti program secara kogrit membentuk sebuah wadah, apa yang disebut dengan Kelompok Kerja Oikumene (KKO) pada tanggal bulan Mei 1981. Kelompok ini terdiri dari; Theo Van Den Broek (Delsos, Jayapura), Agus Rumansara, Pdt. Phil Erary (Sekretaris Sinode GKI di Tanah Papua) dan Arnold Ap dan Tony Rahanwarin (Delsos Keuskupan Jayapura)[8]. Artinya bahwa gereja menyadari akan tugas panggilannya untuk menyikapi realitas di atas tanah Papua. Maka gereja bukan saja pengagas utama melahirkan lembaga swadaya masyarakat tetapi juga menjadi pengerak utama untuk menyikapi kekerasan militerisme dan kebijakan transmigrasi. Lewat badan ini memperjuangan bagaimana menyeberang dan menyikapi pednderitaan bangsa Papua yang terus mengalami marginal. Tetapi pada sisi yang lain untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan pembangunan agar segera memperhatikan nasip hidup orang asli papua di tanah ini yang menjadi sasaran korban kekerasan militer secara fisik maupun pemusnahan budaya dan hak hidup melalui perampasan tanah adat sewenang-wenang.
Belakangan ini orang Papua menganggap para penyiar Injil di tanah Papua turut ikut mendukung usaha pemerintah. Mereka menjadi agen pemerintah memberikan informasi sesuai kebutuhan pemerintah. Papua saat itu kekuasaan jajahan Belanda, Jeffray bertemu dengan Dr W. Cator, Asisten Residen Belanda mendukung kegiatan pemberitaan Injil di Pegunungan Tengah Papua. Tahun 1928, pemerintah Belanda dengan Oper Door Policy (kebijakan pintu terbuka), mendukung misi-misi yang ikut membantu usaha pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup orang-orang pedalaman tersebut[9]. Bahwa pemusnahan orang Papua dan budaya tidak hanya oleh pemerintah Indonesia tetapi sebelumnnya secara tidak langsung sudah di praktekkan oleh gereja. Gereja telah lebih dulu sudah mempraktekkan dengan menghanculkan simbol-simbol yang telah lama menjadi tiang penopang kehidupan dan mendorong untuk meninggalkan kepercayaan tradisional. Nilai-nilai hidup, aturan dan etika serta pandangan masyarakat sendiri tentang dirinya dan dunia di anggap sebagai kafir dan perlu jamahan luar untuk mengangkat peradaban hidup suku bangsa. Pada hal nilai hidup suku-suku di pedalaman sudah mengandung nilai-nilai kita Perjanjian Lama dan Kristus datang untuk menyempurnakan (Matius 5:26).
Ada upaya pemerintah pusat menyikapi persoalan papua, dan mereka menganggap usaha ke arah itu sudah ada; mulai dari otonomi khusus, komunikasi konstruktif melalui kebijakan UP4B, dialog Jakarta-Papua tahun 2000, dan penanggulangan bencana kelaparan yang berakibat pada gizi buruk bagi penduduk Amat. Akan tetapi orang Papua punya pandangan sendiri memakai perspektif hermenutik curiga. Tidak punya hati nurani yang baik untuk membangun papua dengan hati yang murni dan iklas. Sorotan Papua tanah Damai, Papua baru yang canangkan oleh pemerintah dan petinggi keamanan dalam penerapan itu hanya tinggal khayalan yang belum pernah mendarat ke bumi masih berputar di awan-awan. Tindakan yang terselubung kepentingan yang bertopengan jargon Papua Damai atau jargon konstruksi pembangunan dan sebagainya merupakan kepandaian sedimentasi. Hal ini menjadi jelas ketika mengabaikan problem subastansi yang sementara ini dihadapi secara sengaja oleh pihak yang berwenang. Bahwa
MENGAPA GEREJA MENGAMBIL PERAN ATAS REALITAS SOSIAL?
Perbedaan pandangan dan pikiran di kalangan Hamba Tuhan di antara para pekerja Gereja di tanah Papua menangkapi atas situasi papua dulu dan kekinian dengan hermeneutik sendiri. Merupakan bagian dari respon tanggung jawab yang diberikan Tuhan atas gereja. Maka dalam tulisan sebagai jawaban atas pertanyaan ini lebih fokus peran gereja dalam menyikapi realitas melalui pengalaman masa lalu Historis dan kini tentang kekerasan negara (post-kontemporel) tetapi juga sebagai renaisance budaya lokal sebagai usaha kembali mengangkat harga diri dan martabat manusia dan budaya (kebangkitan kembali) yang telah dihilangan oleh penyiar Injil berkebangsaan Eropa, Amerika dan Indonesia belakangan sini dan pemerintah memegang remot control gereja untuk membantu menjadi agen dalam kegitan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas.
Dalam terang Injil berkacamata perubahan sosial musti kembali pada penciptaan dan pengejawantahan budaya dan sejarah pengalaman perjuangan pada masa patriakh berhadapan dengan dosa sosial yang melumpuhkan iman dan kasih dengan kebergantungan atas dirinya sendiri, menggangap dirinya kuat dan mampu merubah pandangan dari Allah kepada ke-akuan yang mengakhiri pada hukuman sebagai ganjaran tingkah lakunya sendiri pada masa itu. Pada Kontemporel juga lihat atau belajar dari pengalaman gereja lain melawan sistim tirani besi di belahan dunia lain. Realitas tersebut gereja melihat sebagai tanda-tanda zaman yang memiliki keterbukaan dan kemauan untuk melihat dan membaca atas perubahan zaman. Atas dunia yang penuh bermasalah dilihatkan Tuhan yang gelisah dan mengambil alih peran gereja sebagai waktu Tuhan (Kairos) untuk meresponi kenyataan ini.
Penciptaan, Dosa dan Keselamatan
Tuhan, Allah sebaga objek penciptaan mengakui penciptaan manusia dan dunia yang amat baik. Ia menciptakan manusia berdasarkan gambar dan rupa-Nya sehingga dapat berelasi dengan manusia dan manusia berkuasa atas bumi untuk berusaha, melestarikan dan memenuhi kebutuhan dari alam (Kejadian 1:26). Mandat budaya tidak diberikan semata-mata kekuasaan mutlak tetapi kuasa pertanggung jawaban untuk mengatur, menjaga dan memenuhi kebutuhan sebagai akuntabilitas kasih dan Iman kepada Allah, merupakan dasar yang terkandung dalam penciptaan bahwa manusia harus hidup kudus dengan bergantung kepada Allah dalam Iman dan kasih sebagai akuntebal tadi untuk bukan saja berkuasa tetapi juga melayani sesama lain sebagai makhluk sosial.
Dunia yang sempurna telah mencemarkan oleh pilihan dan keputusan manusia yang ingin merebuat kekudusan Allah, mengiyakan rayuan tipuan iblis. Sebab akibatnya membawa perubahan drastis atas manusia dan kehidupannya. Alkitab mencatat manusia takut dan tersempunyi (Kejadian 3:8). Tidak ada upaya manusia mencari jalan menghindari rasa takut. Tetapi Tuhan mencari dan memanggil dan mengorbankan seekor binatang untuk membuat pakaian merupakan menifestasi kasih terbesar Allah yang nyata “sejarah keselamatan” pertama pada manusia yang tergenapi melalui ekstrimis paradoxsal salib untuk membebaskan kita dan kembalikan gambar Allah kepada manusia. Dari sini kita bisa lihat bahwa tidak ada inisiatif manusia mencari Allah dan keselamatan. Sekiranya demikian manusia menjadi binatang liar tidak punya tuan. Tetapi Tuhan telah bersedia memprakarsai menyediakan keselamatan. Dan Visi atau mandat itu telah memindahkan atas pundak Gereja oleh kristus untuk pergi dan beritakan Injil (Matius 24:14; Markus 16:15) untuk menyeladani Kristus. Bahwa Kristus mengenakan tubuh manusia (Inkarnasi) datang ke dalam dunia dalam dunia yang tersesak dan karat oleh dosa. Baik itu dosa sosial maupun dosa struktural yang menindas sesamanya. Yesus tidak datang ke dalam dunia dengan Visi yang pasif. Yesus menawan orang-orang yang tertinda dalam rantai sistem dosa warisan, mengangkat kelas rendahan-kasta, pembunuhan sewenang-wenang, pengemis, tukang pajak (dosa sosial), dan dosa struktural kaum klerus (saleh); seperti ahli taurat, imam dan kepala yang gilirannya membuat aturan yang memeras dan menindas umat, membebaskan kaum perempuan, mengangkat hak setiap orang dll.
Dengan demikian Kristus tidak fokus pada pelayanan berperan sebagai klerus yang disebut dengan spritualitas tanpa memperhatikan persoalan sosial lainnya akan tetapi pelayanan yang seutuhnya; sosial, antropologi, ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan, HAM melalui tiga perangkai pelayanan, yakni Kerajaan Allah (Injil, Apostolok, dan Sosial) yang itu akhirnya menjadi hakekat tugas panggilan gereja untuk bersekutu, bersaksi dan melayani.
Mandat Gereja.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa kini tugas itu telah diberikan mandat kepada Gereja. Sebelumnya kita harus pahami terlebih dahulu tanggung jawab yang Yesus berikan kepada gereja. Gereja adalah Institusi Allah proyek Kristus, maka program dan manajement kerja berdasarkan teladan Allah dan Kristus melalui memperjuangkan dan menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah itu pada dunia.
1. Mandat Teladan Tuhan.
Seperti pada awal bagian ini jelaskan bahwa keselamatan dan pemulihan adalah inisiasi Allah, maka Gereja juga tidak berdiri pada pendirian sendiri atas kehendak dan rumusan aturan sendiri. Kontekstualisasi telah dimulai oleh Allah melalui penciptaan. Ia menciptakan ruang yang bisa ditinggal manusia dan penciptaan lain yang bisa dilihat dan mengalami secara kasat mata dan mengusahakannya. Allah sendiri berkomunikasi dengan manusia. Maksud bahwa Allah sendiri menciptakan pada ruang dan waktu untuk berhubungan dengan manusia bukan saja sebagai Allah yang transenden tetapi juga sebagai Imanen yang berhubungan dan bersekutu dengan manusia.
Pada klimaks yang gamblang adalah Konfigurasi Kristus memakai rupa manusia untuk mengalamai kehidupan manusia. Yesus adalah puncak dari pengenapan secara utuh dan lengkap dari kontekstualisasi itu bukan saja menampakkan atau memperlihatkan wajah Allah tetapi juga pada aspek inkarnalistik (Ibrani 1:3). Yesus hadir dalam dunia dan kehidupan manusia. Ia membebaskan orang tawanan dari dosa, dosa kultural-kebebasan perempuan, menyetarakan derajat manusia sebagai haknya yang harus dipertahan tanpa memperhatikan status tertentu, menyembuhkan orang sakit; sakit-lumpuh-cacat-timpang, mencari dan duduk makan bersama dengan orang berdosa, memberikan makan orang yang lapar, dan mempengaruhi pada umumnya penyandang sosial.
Sebab dengan demikian, peran gereja tidak dikhususkan pada satu bagian aspek kehidupan manusia. Injil adalah kekuatan Allah yang mampu menyerobos segala tembok pemisah. Karena itu, gereja sebagai proyek Allah yang dipercayakan kepada manusia, maka harus mengikuti teladan Allah dan Kristus dalam dunia prakmatis dan bukan dunia pengkayalan dengan kata-kata yang premis yang meyakinkan tanpa membuktikan tindakan. Itu yang disebut dengan perbuatan yang pada hakekatnya mati (Yakobus 2:17).
2. Mandat Injil.
Sebelum menelaah lebih lanjuti untuk lebih jelas dan terang arah dari penjelasan ini sebaikinya memahami lebih dahulu apa itu Injil dan tugasnya?
Injil adalah berita keselamatan (Markus 1:15, 16:17). Sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan. Injil adalah berita kesukaan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, pembebasan orang-orang yang tertindas, memberitakan tahun rahmat Tuhan (Kis 8:12). Injil menyatakan keadilan dan perdamaian, kesejahteraan untuk keutuhan ciptaan. Karena itu, Injil ialah berita kesukaan yang utuh dan menyeluruh untuk seluruh ciptaan, yaitu manusia dan kehidupan, mengenai lingkungan hidup. Injil itu bukan hanya mengenai jiwa atau roh manusia dimensi spritualitas yang vertikal, melainkan juga mengenai seluruh keberadaan, baik sebagai makhluk politik, makhluk sosial, makhluk ekonomi, makhluk Ilmu pengetahuan dan teknologi, makhluk kebudayaan dan seterusnya. Maka batas kegiatan pemberitaan Injil dalam keseluruhan pekabaran Inil harus diberi tempat kepada pelayanan rahmat, meliputi; segala bidang kehidupan manusia.
Maka keadilan tidak akan ditegakkan tanpa memiliki dasar kebenaran kekuatan Allah, yaitu Injil. Dalam pemahan Kristen, kebenaran dalam Alkitab adalah kebenaran Allah. Kebenaran itu sesuatu yang dapat di andalkan, yang sudah teruji dan dapat dipercaya secara mutlak dan absolut. Maka itu, pada hakekatnya Injil itu bersifat absolut tetapi pada penerapannya relatif memakai ilmu sistematika teologi sebagai ratu ilmu membangun perbaduan interdisiplin teologi dengan ilmu sekuler lain sebagai upaya kerangka berteologi dalam dunia masing-masing.
3. Mandat Gereja.
Pada hakekatnya gereja memiliki tripanggilan gereja untuk bersaksi, bersekutu dan melayani. Terutama gerakan oikumene dan Lembaga Kristen baik pembantu gereja maupun Yayasan secara lebih luas telah mengembangkan dan memahami prinsip penerapan Injil secara utuh melalui rumusan teologi dalam konteks manusia. Mereka memahami bahwa Gereja itu tidak berdiri pada suaatu situasi yang kosong tanpa ada noda. Gereja sebagai tempat persekutuan yang kudus telah dipilih dan dipanggil mengutus kembali kepada dunia yang gawat dosa untuk mengabarkan kabar baik yang memberikan kebebasan keadilaan dan kebenaran merupakan inti dari dampaan setiap umat manusia secara jiwa dan raga dalam penindasan sosial dan struktur.
Prinsip kesaksian pada bagian pertama dari tripangilan gereja-kesaksian selalu mengalami dinamis berparalel hebraic perspective dan hebraic konteks. Pola pelayanan Kristus dan sejarah pelayanan oleh para profan juga telah menerapkan kombinasi konteks teks, konteks pembawa kabar baik (Misionaris) dan sasaran pekabaran Injil (daerah yang ingin dijangkau oleh zending). Ketiganya tidak boleh pisahkan satu dari yang lain, satu kesatuan yang utuh dalam interpretasi dan implementasi Injil. Maka Injil tidak dipahami sebagai kekuatan yang mampu mengubah tatanan hidup baru untuk meninggalkan filosofis, histori dan pandangan hidup yang lama ada sebelum kontak dengan ajaran baru. Tetapi Injil datang untuk menyempurnakan dan memulihkan hidup suku bangsa, terutama bangsa Israel tetapi juga suku bangsa non-Yahudi dari cengkraman dosa sosial dan kultural, serta struktural. Cikal bakal mencetuskan gerakan oikumenis yang akhirnya tidak hanya pentingnya kesatuan untuk menjaga keunikan sekte atau agama lainnya untuk bekerja sama di dunia yang satu ini sebagai hambah-hambah Allah menjalankan mandat tersebut. Melainkan juga memiliki tanggung jawab yang sama atas kesadaran kebutuhan untuk gereja melihat manusia secara utuh sesuai keadaan gereja atau konteks masyarakat berhadapan dengan dinamika perubahan baru yang datang dari luar maupun dalam masyarakat sendiri yang membangun sekat-sekat politisasi, yaitu segregasi etnis/identitas, kelas sosial dan penindasan dan diskriminasi.
Peralihan pelayanan generasi tua kepada generasi mudah pada tanggal 6 April 2012 di wakili oleh Pdt. Zeth Yeimo obor Injil menyerahkan kepada generasi mudah. Maka dalam semangat itu generasi mudah telah berjanji akan meneruskan karya para perintis gereja dan menjaga obor Injil itu tetap menyala dan bersinyar. Maka Simode mencanangkan Penginjilan Baru (PI Jilid II/New Evangelsm atau bertolak ke dalam) dalam sambutan ketua Sinode pada ibadah perayaan 50 tahun gereja Kemah Injil (KINGMI) Di Tanah Papua berkarya (Yubelium 50 tahun) pada 6 April 2012 di GOR tahun 2012 lalu. Nazar ini tidak lahir sebagai rencana kerja tetapi lebih dari pada itu dilahirkan gagasan pelayanan Etika Baru di tengah dinamika perubahan sosial yang mengondisikan dan mereka mengangkat dirinya menjadi pemain tunggal di tanah. Realitas sosial ini dibaca sebagai tanda-tanda zaman (Matius 16:2-3), di tengah masalah yang ketidakberdayaan inilah gereja di utus Tuhan (Yohanes 17:18), di utus Tuhan untuk menjadi bercahaya seperti bintang di dunia (Pilipi 2:15) untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, karena engkau berharga dan mulia (Yesaya 43:3), menjaga agar terang Tuhan yang Tuhan ditempatkan dalam setiap diri manusia bersinar ( 2 Korintus 4:6). Melihat penyandang sosial dalam bentuk bersaksi tetapi juga pelayanan sosial (Matius 25:35-36)[10]. Adalah inkarnatoris di tengah dunia yang penuh dengan kekerasan dan ketidakberdayaan (Filipi 2:5-8) supaya menjadi yang lebih kuat (Roma 12: 1-2) untuk mewujudkan Visi Gereja KINGMI “menghadirkan kerajaan Allah: Papua damai sejahtera-lagu Mars Kingmi[11]. Pencanangan 2012 merupakan visi kerja gereja 50 tahun ke depan mengutamakan re-evangels ke dalam bermula dari keluarga, mengurus anak dan membangun kesatuan jemaat yang terpecah akibat konflik antar sesama yang menurunkan pertumbuhan iman umat yang sampai belum mencerminkan Injil Kristus.
Menginjili kembali dalam upaya berubah untuk menjadi kuat secara spritualitas tetapi juga berubah dalam semua hal. Treatmen Jakarta, Papua “orang dan organisasi Papua” adalah pendukung separatis yang menjadikan target pengejeran secara terang-terangan maupun bermain di wilayah spikologis yang menekan mind set dan naratif kritis yang dikonstruksi di kalangan komponen masyarakat meresponi segala kebijakan yang sepihak alah jakarta. Tindakan politik menyelesaikan berbagai masalah di papua Indonesia menganggap sudah membangun dengan PEPERA tahun 1969, otonomi Khusus nomor 1 tahun 2000, UP4B, revisi dan pengesahan keberlanjutan Otsus nomor 2 tahun 2021 atas perubahan UU Ostus sebelumnya, dan mewacanakan pemekaran Daerah Otonom Baru Provinsi. Tetapi kebijakan dan program tersebut orang papua menganggap sebelum dihargai sebagai manusia untuk bebas menentukan pilihan dan keinginan sendiri tanpa ada keterpaksaan maka tidak pernah sampai pada substansi masalah. Utang negara semakin bertambah tinggi yang signifkan, negara telah mengesahkan UU tenaga kerja (Omnuslow) agar membuka akses supaya Perusahan kanca Internasional datang berinvestasi di Papua sebagai upeti untuk mengurangi utang negara. Itu mengkwatirkan nasip masa depan hidup bagi orang asli papua. Tahun 1970-an sampai 1980-an pemerintah telah mengeluarkan kebijakan transmigrasi dan operasi militer. Paksakan DOB di tanah Papua juga punya agenda yang sama, membuka pintu migrasi, hadirkan perusahan-perusahan besar internasional ke tanah Papua, tersingkirkan manusia papua dari tanahnya sendiri dan para migrasi menjadi berkuasa dalam segala bidang karena orang papua belum siap bersaing yang berkausalitas pada potensi pemusnahan manusia papua dari tanahnya sendiri.
Dalam tengah problem ini, merek huruf dan pendidikan yang tidak memadai tidak membatasi semangat pertahankan gereja Kingmi di tengah gejolak sosial yang tidak menentu, diperhadapkan dengan kebudayaan baru atau modern dari berbagai etnis dan suku bangsa dengan triknya sebagai agen-agen yang bermain bebas di tanah ini menghimpit umat yang belum siap untuk memperhadapkan dengan mereka. Dalam semangat inilah menyoroti tema konfrensi Sinode Kingmi 205; Mengawali Semangat PI Generasi Perintis Injil (Ibrani 12:1). Mengarahkan semangat para umat di tanah papua untuk belajar dari pengalaman orang-orang beriman tokoh-tokoh Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Belajar dari ketegaran iman, pengorbanan dan penderitaan “teladan hidup”, bahwa perlu mengali dan belajar dari pengalaman penderitaan dan kisah hidup para pejuang iman seperti makna dari ungkapan Gustavo Gutierez, teolog Amerika Latin “minum dari sumur kita sendiri”.
Konsep Mengambil Alih Kendali Dalam Kerangka Dekolonisasi Pengetahuan Dan Pemahaman Akan Jati Diri Dan Budaya Serta Identitasnya Dalam Terang Injil Pada Segi Persoalan Sosial, Politik, Ekonomi, Budaya, Dan Siasat Pendidikan.
Kesadaran menjadi hal ihwal bagi siapa saja orang asli papua secara individu, kelompok dan lembaga atau institusi perhatin Papua dalam rangka menentukan arah dan tujuan yang jelas dengan menempatkan posisi yang tepat. Kecurigaan dan egoisme tinggi ditonjolkan dalam setiap keberadaan kita dan kelompok kita tanpa memandang keunikan masing-masing, membuat kita semakin menjauhi dari pusat (degradasi) tanpa ikatan kesatuan yang utuh memilih jalannya sendiri. Tidak ada ruang bagi kesatuan dari konsep (Kesadaran) dan tujuan (ideologi) orang yang sama memiliki keinginannya sendiri-sendiri merupakan wajah dari keterpecahan yang tidak menyatu ketika menonjolkan keegoisan. Kesadaran itu dibangun dari satu keinginan yang sama, menyatukan keunikan konsep yang satu dan mengarahkan pada satu tujuan yang sudah jelas, yaitu keinginan bersama. Maka kesatuan dan kesadaran tidak hanya muncul dalam satu individu tetapi menciptakan satu garis koridor dan menjalin hubungan yang bebas; bebas saling menerima dan mengakui sehingga mempunyai kekuatan kokoh yang tidak mudah di runtuhkan keutuhan kesatuan kita oleh para pengacau dan pembunuh yang berjalan menjalelah di Papua.
Kesadaran merupakan pokok dari agency yang mengakui atas dirinya yang memiliki hak dan berotonom dalam segala bidang dan sektor. Agency juga berani mengambil jalan lain mengangkat diri dan harganya yang telah dilemahkan oleh para pendatang sebagai bagian dari melawan atau studi saingan karya ilmiah yang telah diterbitkan di universitasi-universitas ternama seperti Amerika dan Eropa yang kerja sama dengan plutokrator atau punya kepentingan di tanah ini. Penelitian akademisi melalui berbagai institusi pendidikan maupun non pendidikan menyuburkan berbagai macam bentuk imperiarisme ekonomi dan kultural dengan membentuk serta melegitimasi kebijakan-kebijakan yang memperkokoh relasi kekuasaan yang tidak adil dengan memasukan ide dan dominan hegemoni pandangan pengetahuan barat tanpa memperhatikan perspektif pribumi mengenai dirinya dan kebutuhannya. Ketika penelitian itu tidak membantu masyarakat dari sakaratul kepunahan maka mereka juga berusaha kehancuran dan kepunahan masyarakat terjajah. Sebab wajah sebuah bangsa bisa lihat dari sejarahnya. Ketika sejarahnya hanya dicatat berdasarkan sepenggal peristiwa dan menganalisinya dengan asumsi, maka penyok wajah sebuah bangsa. Begitu juga ketika data dan fakta, yang merupakan pondasi sejarah, sudah di masuki kepentingan-kepentangan politik sepihak, kemudian dibahaskan secara berlainan dengan peristiwa sebenarnya sehingga tidak menyuarakan kenyataan sejarah secara utuh, maka wajah bangsa tersebut tidak kalah penyok. Sejarah merupakan cermin sekaligus mesin pembentuk karakter sebuah bangsa[12]. Oleh sebab itu konstruksi imajinasi terhadap masyarakat timur lewat kacamata barat atau pendatang dengan mengendarai roda kolonialisme maka, bangsa terjajah menjadi pecandung.
Pada sisi yang lain itu kekayaan studi sudah ada disini. Berubah untuk menjadi kuat kita harus mengambil peran dalam semua segi (Benny Giyai). Gereja harus berlandaskan arah dan pola pelayanan berlandaskan pada sejarah dan pengalaman pelayanan pinoer para tua-tua sebagai cara kita mempertahankan kemurnian iman untuk menjaga benih itu tetap bertumbuh, mekar dan berkembang mewujudkan nazar generasi mudah bertolak ke yang lebih dalam dengan mengembangkan menjalankan pelayanan penginjilan ke dalam untuk memperkokoh kekuatan kita menghadapi kekuatan Firaun dan Goliat ini.
Karena benih itu pertama bertumbuh melalui “kemah Injil” gerakan sebuah komunitas basis (GKB)[13] yang warganya terdiri dari kelas rendahan dan penyandang sosial dan penganggur yang telah mengabaikan gereja mewa oleh kaum hartawan. Awal bentuk komunitas ini, Albret Benyamin Simson beranggapan bahwa gereja merupakan lembaga yang paling tepat memihak dan mengumpulkan orang miskin secara rohani maupun jasimani di dunia. Setelah Injil tibah di Paniai di pegunungan tengah Papua pada tanggal, 28 Januari 1939, setelah 20 tahun lebih kerja sama antara perintis gereja dan akar rumbut orang tua menyepakati bentuk gereja pribumi dengan nama Gereja KINGMI Irian Barat pada 6 April 1961 di Beoga kabupaten Puncak Sekarang dalam suasana ketegangan politik antara Belanda dan Indonesia terkait status politik Papua. tahun berikutnya telah menyelengarakan Konprensi Perdana[14] dan mengangkat dan melantik pengurus dalam suasana ketegangan politik, hambatan jarak geografis yang berat, tanpa sumber dana, dan kekerasan. Bahwa gereja ini telah melayani di tengah situasi yang tidak ada harapan bagi masa depan bangsa papua. Perayaan Yubelium 50 thn pada 2012 mengandung makna pembebasan dari segala macam penindasan dan utang piutang. Yubelium 50 thn merupakan adopsi kebiasaan bangsa Israel tahun Yobel setiap 50 thn itu diadakan sekali. Perayaan itu bertujuan untuk pembebasan bagi para tawanan, penebusan utang piutang, memandang semua manusia sama dalam kehidupan manusia tanpa perbudakan. Kemiskinan dan kelaparan dan menjadi tahun sukacita bagi orang Miskin.
Dari perspektif ekonomi, perayaan itu dilambangkan sebagai cara memperingatkan setiap kita membebaskan diri dari kemiskinan dan pengangguran untuk berani mengembangkan kapabilitas, baik sebagai petani, pengajar, mandri, DPR, Camat maupun pengerja gereja untuk mengambil alih kekuatan kita (Beni Makewa Pigai 2015; hal 331). Dan kemudian itu telah disempurnakan oleh Kristus melalui menyembuhkan berbagai jenis penyakit-membangkitkan orang mati, membebaskan dari ikatakan sistem rantai dosa dan sistem stratifikasi sosial, maupun memberi makan 5 ribu orang (Matius 11:4-5). Budaya pengembalaan ternak domba bagi orang Israel digunakan memuji Tuhan, karena di atas budaya itu Tuhan bertakhta di sana. Budaya adalah tubuhnya dan dosa dalam kebudayaan adalah penyakitnya. Maka bukan tubuh yang ingin dirusakkan tetapi penyakitnya yang mau diobati. Demikian juga budaya tidak menghalangi dan menganggu iman Kekristenan. Allah berbudaya menciptakan langit dan bumi termasuk manusia, maka membangun iman dan kekristenan dalam pelayanan dan mengembangkan teologi di atas bidang ilmu dan iman kristen sebagai upaya mengkredirkan teologi yang disebut dengan miskin “intelektualitas klerus” yang tidak berani mengembangkan dan mengambill jalan sendiri mengembangkan ilmu dan Iman dalam penghayatan mengenai dirinya; filosofi, historis dan pengalaman religius baik secara kosmik maupun melalui figur mitos sebagai pengantar dari figur mesias atau Allah atas dasar pemahaman transenden Allah sebagai Allah yang misteri itu dapat berhubungan kepada manusia melalui pewahyuan dan kosmik dalam budaya yang sudah dikenal melalui para nenekmoyang pada masa mereka.
Yesus ada di atas semua kebudayaan dan nilai-nilai. Yesus tidak pernah meniadakan atau menolak hukum Taurat tetapi menyempurnakan dalam pengajaranNya yang luas tentang semua aspek. Yesus menjadi incaran pemerintah dan militer romawi ketika mengucapkan kata-kata pembebasan dan membebaskan umat yang berada dalam tawanan kemiskinan, penindasan dan mengangkat pietis palsu yang telah ajarkan oleh Imam dan menghidupi di tengah kehidupan bangsa Yahudi, sehingga diolok-olok sampai mati di kayu salib sebagai seorang pemperontak.
Maka kesadaran agency adalah mengenal siapa diri, saya berada di mana, dalam keadaan apa? Apa tugas saya? Dan memulai dari mana sesuai kemampuan (talenda) yang kita miliki memulai dari setia sama hal-hal kecil-kecilan sesuai apa yang bisa kita buat. Kekuatan kesetiaan pada hal kecil ini kita bisa lihat sama dengan Daut mengalahkan Goliat dengan memakai strategis sederhana menggunakan batu yang ambil dari lingkungannya dan alat kertapel pun terbuat dari dari bahan yang terdapat dari sekitarnya. Bahwa batu atau alat penembak tidak turun dari surga tetapi ia memakai bahan yang tersedia di sekitarnya. Lebih khususnya di kabupaten Intan Jaya atas kehadiran daerah otonomi baru meningkatkan kualitas hidup untuk mensejahtrakan penduduk Intan Jaya, justru terjadi pergeseran budaya dan penata sosial budaya akibat kehadiran kabupaten Intan Jaya. Bahkan pemerintah sendiri menciptakan trik-trik lainnya yang itu kemudian kerugian masyarakat segi pembangunan dalam semua aspek. Wajah masyarakat Intan Jaya masih taraf masyarakat madani tradisional, yang belum tersentu pembangunan yang benarbenar menyentuh dengan langsung ke masyarakat. Masyarakat Intan Jaya pada umumnya hidup sebagai petani. Persoalan keterisolasian wilaya dan keterbatasan akses jalan seringkali menjadi alasan menghambatnya peningkatan sistem prekonomian masyarakat. Potensi ekonomi di kabupaten Intan Jaya sangat menentukan dan berskala besar, jika peratian pemerintah mengembangkan kekuatan ekonomi manfaatkan kekayaan pangan lokal yang tersedia. Dalam kegiatan sehari-hari, nilai berkebun dan beternak adalah identik dengan pola perekonomian masyarakat Intan Jaya. Tanah di kabupaten Intan Jaya sangat subur, termasuk kategori jenis tanah humus yang mengandung banyak unsur hara dan mineral dan sangat subur, sehingga tanahnya strategis untuk kegiatan perekonomian masyarakat. Pemerintah juga belum pernah memikirkan tentang mengangkat sumber daya ekonomi yang tersedia di daerah sendiri, baik itu usaha dalam bentuk pengelolaan tanah maupun usaha lain seperti piara hewan dan lainnya sesuai sumber yang terdapat di dearahnya sendiri. Misalnya, perencanaan program kerja untuk mengembangkan penanaman ubian lokal mengantikan bantuan subsidi penangulangan dan perlindungan sosial dalam bidang pangan, usaha piarahan hewan (Babi) dan penyediaan restoran daging babi, penanaman jenis sayuran dan sebagainya yang difasilitasi oleh pemerintah tetapi keuntungannya kembali kepada masyarakat sendiri. Jikalau pemerintah benar-benar menerapkan sistem kegiatan perekonomian basis ala kampung dengan mendayagunakan kekayaan dan atau melestarika sumber daya yang tersedia lokal, tentu akan mewujudkan penanggulangan kemiskinan dan menurun kebiasaan ketergantungan serta kesejahteraan sosial. Hal ini saya dipersoalkan berangkat dari persoalan di Intan Jaya, karena pemerintah sebagai hamba Allah mempu mengembangkan kegiatan sesuai kebutuhan masyarakat tentang apa yang mereka butuhkan. Kebijakan dan regulasi pemerintah hanya untuk memuaskan keinginan pusat tanpa mencermati letak masalah dan kebutuhan berpotensi besar akan terus bertambah budaya dependensi dan juga sebagai dampaknya akan menciptakan patolgi sosial yang menghancurkan sistem dan tatanan sosial masyarakat, seperti kemerosotan, disorganisasi dan distabilitas yang juga ikut terpengaruh ke dalam pertumbuhan iman warga umat.
[1] Pengantar Edisi Indonesia; Benny Giyai, Dekolonisasi pengetahuan, dan peta jalan emanisipasi orang papua Cypri Jehan Paju Dale- Zakheus Pakage dan Komunitasnya- Wacana Keagamaan Pribumi, Perlawanan Sosial-Politik, dan Transpormasi Sejarah Orang Mee, Papua (1995, 2022) Hal 2 tentang perjumpaan orang Papua dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan Agama hegemoni pendatang-Eropa, Amerika dan Indonesia dan membangun perlawanan untuk memperkuatt diri secara agama, ekonomi dan politik yang hendak mereka kendalikan sendiri.
[2] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 26, bangsa Papua barat yang duluhnya telah tinggal di kampung membangun rumah permanen dan mengelola lahan pertanian terpaksa menjadi bangsa Nomaden. Saat mereka menjadi lahan perburuan dari Hongi-ekspedisi laut yang dikirim Sultan Tidore dan Ternate ke Papua untuk merampok, membunuh, pengayauan dan penangkapan warga untuk di jadikan budak dan mengangkut ratusan warga Papua sebagai budak (hal 24-27).
[3] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 29 tudingan militer kepada gereja, pejabat dan LSM yang mengkiritis kebijakan yang melumpuhkan masyarakat papua. Kegiatannya tidak beda hanya menganti wajah tetapi cara mainnya lama yang disebut dengan Continuity and Discontinuity.
[4] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 54.
[5] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 54.
[6] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 76.
[7] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 79.
[8] Benny Giyai. (2011). Hidup dan Karya John Rumbiak-Gereja dan LSM Perjuangan HAM dalam tahun 1980-an di Tanah Papua. Hal 176.
[9] Pdt. Rodger Lewis, B, A. (2009) Karya Kristus Di Indonesia-Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia Di Tanah Papua Sejak 1930. Yayasan Kalam Hidup. Jln: Naripan 67, Bandung 40112. Hal 98. Bahwa memudahkan usaha pemerintah bekerja sama dengan Zending dengan memberikan dukungan kegiatan penyiaran Injil.
[10] Pdt. Dr. Benny Giyai (2015) SEKITAR GAGASAN PI BARU – Bacaan Peserta Konprensi Sinode KINGMI 19 – 25 Oktober 2015. Badan Pengurus Sinode Kingmi Di Tanah Papua 2015, hal 16; 22.
[11] Pdt. Dr. Benny Giyai (2015) SEKITAR GAGASAN PI BARU – Bacaan Peserta Konprensi Sinode KINGMI 19 – 25 Oktober 2015. Badan Pengurus Sinode Kingmi Di Tanah Papua 2015, hal 30
[12] Linda Tuhiwai Smith (1999), DEKOLONISASI METODOLOGI. London: Zed Books, hal xii.
[13] Benny Makewa Pigai, SE, MA, (2015) MENJADI GEREJA PENABUR BENIH DI TANAH PAPUA-Sejarah, Kenangan Kehidupan dan Pelayanan Perintis Gereja Kemah Injil (KINGMI) Di Tanah Papua. Jl: Nafiri No. 2 Kamkey Abepura – Jayapura Papua; hal 314 tentang benih tumbuh itu menjadi penabur – sejarah awal Misi C&MA dan mendarat di tanah Papua tahun 1939 di paniai.
[14] Benny Makewa Pigai, SE, MA, (2015) MENJADI GEREJA PENABUR BENIH DI TANAH PAPUA-Sejarah, Kenangan Kehidupan dan Pelayanan Perintis Gereja Kemah Injil (KINGMI); hal 325, perjalanan bentuk gereja pribumi dalam suasan yang tidak menentu bagi masa depan Papua.
Komentar
Posting Komentar