REFLEKSI FREEPORT INDONESIA (FREEPORT – Bisnis Orang Kuat versus Kedaulatan Negara) Ferdy Hasiman Terbitan pertama tahun 2019
(Keberatan yang Diajukan, Suara Peringatan dari Perspetif pribumi)
BERANDA.
Sejarah PT MicMoran Freeport Indonesia adalah sejarah perdebatan tentang kebijakan ekonomi, keadilan sosial, dan hukum yang selalu dikaitkan dengan pelaksanaan UUD 1945. Juga Isu politik yang berkelanjutan sejak rezim orde baru sampai sekarang. Dan sejarah freeport Indonesia adalah sejarah perampokkan yang diilegalkan terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia yang tidak adil dan merugikan rakyat papua sebagai pemilik tanah. Secara hukum kontrak karya penanaman modal asing di Indonesia adalah bertolak belakang dengan konstitusi, ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang mengariskan bahwa; air, bumi dan kekayaan alam di Inodnesia dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. UU Kotrak Karya ini ditandai dengan simetris kedudukan negara dengan korporasi melalui pemerinntah perizinan penambangan emas selama kurung waktu 20 tahun itu melalui kontrak karya pertama UU nomor. 1 tahun 1967 (1971-1988). UU kontrak karya menjadi dasar hukum yang kuat bagi Freepor Indonesia mengemban eksplorasi tambang di papua. Tetapi peraturan itu dibuat secara sepihak tanpa keterlibatan negara sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan SDA dan rakyat Papua sebagai pemilik hak atas tanah untuk membicarakannya. Maklum karena pada rezim orde baru itu tata hukum belum kuat dan sistem pemerintahan-politiknya belum stabil baru setelah bebas permanen dari kolonialisme. Menurut hemat penulis sekalipun akuisis kontrak karya menjadi IUP akan tetapi sistem kontrak karya masih akan berlanjut sampai tahun 2041. Karena secara logis jika PT. Freeport Indonesia mengabulkan permintaan negara enam point dengan menerbitkan UU minerba nomor 4 tahun 2009 maka PTFI menganggap masih perpanjang penyatuan antara KK dengan IUP dengan mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi yang akan terjadinya. Misalnya negara masih bergantung kekuatan moneter, industrial dan kekuatan ekonomi kepada korporasi. Maka ketika negara hirilisasi ekspor bahan mentah tentunya PTFI juga akan memberikan ancaman atau pembatasan. Dengan demikian maka IUPK menjadi suatu penegasan yang diberikan kepada PT MicMoran agar patuh pada main aturan negara.
Nah seruh sekali dan seringkali kita juga tensi membicarakan mengenai perusahaan tambang raksasa di Papua ini. Karena dinilai asal muasal bermulanya kolonialisasi Papua pada pihak yang satu, tetapi pada pihak lain juga kapitalisasi hegemoni korporasi terhadap negara. Supaya kita mengerti, terlebih dahulu akan melihat sejarah perampasan tanah secara ilegal yang penuh kobohongan berakibat pada membawah nasip buruk bagi manusia dan kehidupan melalui kerusakan atas bumi dan sumber ketergantungan hidupnya.
PRASEJARAH PERIZINAN NEGARA.
Keparasan dan keelokan kecantikan wanita kekayaan alam di papua meminati peratian mata dunia atau eropa. Meski hanya sebatas temuan benda-benda aneh dan langkah, tetapi secara tidak langsung sudah dilakukan eksplorasi tahun 1760-an. Jauh sebelumnya pada 1623, Jan Carstenz berlayar di sepanjang pesisir tenggara kepulauan Papua. Jan Carstenz menjadi orang pertama yang melihat puncak gunung tertinggi yang ditutup Salju.
Negara Kuba dipimpin sistem rezim diktator, pada pemerintahan Fulgencio Batista. Perusahaan Freeport Sulphure (atau sekarang Freeport) mengoperasikan tambang nikel. Masa pemerintahan di negara itu surplus berjaya. Akan tetapi rezim diktator Batista itu runtuh pada tahun 1959 dan digantikan oleh Fidel Castro. Ekspor Nikel kemudian harus diberhentikan karena Castro mulai menerapkan kebijakan Nasionalisasi semua perusahan asing, termasuk perusahan tambang. Hubungan Freeport-Catro pun tegang, kemudian berakhir dengan mundurnya Freeport Sulphure dari negeri itu. Freeport Silphure mengalami kebangrutan di Kuba.
Freeport ternyata tidak kehilangan arah. Perusahan itu gencar mencari peluang bisnis dan cadangan Mineral baru di negara-negara Asia. Di tengah ketidakpastian itu, jajaran elit Freeport terus melakukan pertemuan-pertemuan dan lobi-lobi bisnis. Forbes Wilson, direktur Freepor Surphure, misalnya, melakukan pertemuan dengan Jan Van Gruisen, direktur pelaksana East Borneo Company. Pada pertemuan itu, Gruisen melaporkan telah menemukan Mountain Ertsberg (Gunung Tembaga) yang berlokasi di Irian Barat. Penemuan gunung Erstberg itu berdasarkan laporan geolog Belanda, Jean Jaques Dozy tahun 1936. Pada tahun itu, Dozy bersama dua temain lainnya, yaitu Anton Hendrik Colijn dan Frist Julius Wissel yang dikenal dengan sebutan ekpedisi Colijn, melintasi Indonesia hingga ke pegunungan glasier Jayawijaya di barat Papua. Dia membuat catatan di atas batu hitam yang aneh dengan warna kehijauan. Catatan itu menjadi petunjuk penting tentang gunung Ertsberg bagi kelompok lain yang mengeksprolasi sumber kekayaan alam di bumi Papua.
SEJARAH PASCA INTERNASIONALISASI STATUS POLITIK PAPUA (EKSPLORASI)
Namun, perang dunia kedua menyebabkan laporan tersebut tidak diperhatikan. Selang 20 tahun kemudian, geolog Forbers Wilson, yang bekerja untuk perusahan pertambangan Freeport membaca laporan tersebut, ketika dalam tugas mencari cadangan nikel. Setelah membaca Laporan itu, Wilson melakukan ekspedisi yang dilakukan pada tahun 1960 ini, kemudian menemukan penyimpanan emas yang besar di Ertsberg. Pada April 1960 Forbers Wilson datang ke Timika melakukan ekspedisi ke Erstberg. Ia ditemui oleh seorang tokoh suku Amugme, Moses Kilangin yang dikenal sebagai perintis gereja di Timika. Berdasarkan temuan Wilson dalam ekspedisi tahun 1960 itu, gunung Ertsberg ternyata bukan hanya kaya akan tembaga, tetapi kaya dengan tumbukan biji emas dan perak. Wilson mengatakan, proses mineralisasi Ertsberg adalah sesuatu yang tidak lazim, karena proses itu terjadi di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut. Dia memperkirakan kandungan logamnya mencapai 40-50% bijih besi, 3% tembaga dan masih terdapat emas serta tembaga. Wilson kemudian melaporkan penemuan ini kepada Presiden Freeport, Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Dia melaporkan bahwa dari areal 14 hektaer, hanya satu hektare tanpa bijih tembaga, pada kedalaman baru mencapai 100 meter. Setelah menganalisis laporan Wilson, konsultan (penasehat profesional) tambang Freeport memperkirakan akan mendapatkan 13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman 100 meter. Freeport McMoran (FCX), induk usaha Freeport , kemudian membuat prediksi biaya investasi sekitar US$60 juta untuk melakukan eksprolasi di gunung Ertsberg. Ongkos produksi mencapai US$16 per pound dan harga jual US$35 sen saban pon. Dengan begitu, Freeport diprediksi akan balik modal dalam tempo tiga tahun. Pimpinan Freport Surphure menandatangani kerja sama dengan East Borneo Company untuk mengeksprolasi gunung Erstberg (Fredi Hasiman (2019), hal 22-23).
Penemuan gunung tambang tidak final dan Freeport tidak langsung melakukan eksprolasi, akan tetapi harus meminta izin konsensi tambang terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia. Kala itu Indonesia dipimpin presiden Soekarno, yang dikenal mengambil jarak terhadap eksprolasi asing serta menunjung tinggi nasionalisme dan kemandirian ekonomi. Soekarno juga anti-barat, karena barat membuat Indonesia terjajah dan hidup dalam kuburan kolonialisme. Di pihak Indonesia, sepanjang tahun 1950-an, presiden Suekarno mendesak PBB untuk menekan Belanda agar menyerahkan Papua yang waktu Irian Barat ke pangguan NKRI. Desakan Suekarno awalnya sulit diterima karena lobi yang sangat kuat dari pemerintah Belanda. Namun, pada tahun 1961, menerjunkan pasukan payung Irian Barat dan mengusir Belanda secara paksa. Sengketa mengenai status papua ini di bawah ke PBB sebagai pihak netral dan 9 tahun diberikan kekuasaan kepada UNTEA dibawah Jenderal PBB, namun, kemudian peralihanan kekuasaan lagi dari PBB kepada pundak NKRI. Penyerahan kekuasan kepada NKRI bertolak belakangan dengan perjanjian di Roma dan New York mengenai menyelasikan persoalan tersebut secara win-win solution. Maka mulai tahun 1963 – 1969 merupakan sejarah pemusnahan orang asli papua oleh sistem militeristik. Anehnya buang persoalan ke PBB sebagai pihak netral dalam upaya mencari solusi. Lalu 9 tahun kekuasaan diberikan kepada PBB, namun kemudian secara sepihak dengan pandang buluh kekuasaan sisah tahun terhitung dari 1963 sampai puncak pelaksanaan pepera di alihkan kepada pangkuan NKRI-yang kemudian Indonesia menganggap penyerahan kekusaan sepenuhnya atas papua sudah dilakukan tahun tersebut (1962)? Maka mengasumsikan bahwa tiga negara, yaitu Belanda, Amerika dan Indonesia telah bersandiwara mengenai status Papua tanpa mengajak orang papua sebagai oknum masalah untuk berbicara mengenai nasip bagi masa depannya sendiri. Sudah cacat hukum lagi, sebelum melaksanakan penentuan pendapat rakyat, kontrak karya sudah dilaksanakan melalui UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Jelaslah pengalihan atau aneksasi Papua ke bingkai NKRI oleh PBB melalui Amerika merupakan pencitraan politik dalam upaya kegiatan ekspansi bisnis transnasional corporation Indonesia di papua. Pencideraan politik merupakan pilihan jalan pintas bagi kaum pengusaha asing melalui siasat strategis yang bias untuk menambang Emas di papua. Sejarah membuktikkan bahwa rentetan perjanjian di atas perjanjian yang dilakukan tahun 1962 mengenai status politik Papua Barat yang disponsori oleh Amerika Serikat merupakan langkah proses peralihan kekuasaan atas papua di tangan Belanda kepada Indonesia. Karena jika kita baca setiap isi perjanjian tidak ada yang membahas soal masa depan Orang Asli Papa. Dari sini jelas, bahwa perjanjian New York 15 Agustus 1962 dibuat hanya kepentingan ekonomi politik dan keamanan[1]. Akhirnya paa tanggal 1 Mei 1963 merupakan awal malapeta dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia. Bisa katakan seperti begitu, karena sebelum pelaksanaan PEPERA 1969 sudah kegiatan securitysasi papua sudah berjalan. Pada pemerintahan UNTEA mengirimkan pasukan militer Indonesia dan menjalankan pemerintahan yang tirani yang lebih kejam untuk menghadapi orang papua (Socratez S. Yoman, MA (2012); hlm 79).
Tujuh tahun sesudah Forbers Wilson menemukan Kandungan Emas di gunung Nemangkawi, atau beberapa minggu kemudian Soeharto dilantik sebagai Presiden, mengantikan Soekarno yang sosialis dan anti barat itu, pada 7 April 1967, eksplorasi dimulai (Markus Haluk (2009) hal. 2).
Freeport terus melakukan lobi politik internasional. Freeport harus meminta bantuan kepada pemerintahan mereka sendiri, yaitu Amerika Serikat, yang kala itu dipimpin oleh John Fitszgerad Kennedy. Wilson sempat meminta bantuan presiden Kennedy agar mendinginkan suasana politik status Irian Barat. Namun, Kennedy ternyata mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika bersikukuh mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana besar untuk membangun negerinya dari puing-puing kehancuran akibat perang dunia kedua, terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat. Kemunduran Belanda dari Irian Barat menyebabkan Perjanjian Kerja Sama dengan East Borneo Company batal. Freeport sangat kecewa, apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar U$11 juta dengan melibatkan Internasional Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (Work Bank). Bagi Freeport, tandangan berkaitan dengan pemerintah Soekarno yang kuat harus dihentikan. Maka jatunya Soekarno adalah momentum besar. Sesudah Soekarno paksa menyerahkan kekuasaan kepada Sueharto pada 12 Maret 1997, satu bulan kemudian UU penanaman modal asing disahkan dan 7 April 1967 Freeport dan pemerintah NKRI menandatangani kontrak karya pertama, lebih awal dua tahun dari Pepera 1969.
Dewi Fortuna, ternyata berpihak kepada Freeport, yang berawal dengan peristiwa Presiden Kennedy tewas di tembak pada 22 November 1963. Bahwa penembakkan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar terkait kepentingan kaum globalis yang hendak mempertahankan hegemony atas kebijakan politik di Amerika Serikat. Presiden Lyndon B. Johnson yang mengantikan Kennedy mengambil sikap berbeda dengan pendahulunya. Johnson ganti pendekatan bantuan ekonomi kepada Indonesia dengan kebijakan bantuan militer untuk mendinginkan situasi di papua. Freeport juga semakin mendapat keuntungan karena pada tahun 1965, rezim Soekarno yang kuat itu mulai goyah. Sebagaimana kerap dilakukan Multinational Corporation, Freeport mulai lagi melakukan berbagai lobi bisnis politik dengan pemerintah baru Indonesia untuk mengeksprolasi kekayaan alam di bumi Cenderawasih Papua. Petinggi-petinggi Freeport pun terus berupaya mempengaruhi para penguasa, kemudian 11 maret segerah mengeluarkan Surat Perintah sebelas Maret (Supersemar) versi Markas Besar Agkatan Darat (Mabes AD) yang ditanda-tangani oleh presiden Soekarno untuk mengambil segala tindakan di papua untuk mengatasi situasi papua.
PASCA PERIZINAN.
Pada 10 Januari 1967, terbit Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal Asing (PMA). Beberapa bulan setelah pengangkatan sebagai presiden, yakni pada 7 April 1967, presiden Soeharto mendatangani Kontrak Karya I Freeport. Dengan itu Presiden Soeharto memberikan izin kepada Freeport Sulphure untuk melakukan kegiatan penambangan di Irian barat waktu itu. Dalam Kontrak Karya itu, Freeport Sulphure Company bertindak sebaga kontraktor tunggal dalam eksplorasi, eksploitasi, dan pemasaran tambang selama 30 tahun, sejak mulainya beroperasi tahun 1973. Adapun luas konsesi lahannya adalah 11 ribu hektare. Kontrak karya adalah dasar hukum bagi Freeport Indonesia untuk memulai operasi tambang di Ertsberg, timika-Papua. Kontrak Karya juga memberikan ruang bagi perusahan asing untuk mendapatkan hak atas mineral dan tanah.
Anehnya lagi pihak asing merancang UU nomor 11 tahun 1967 termasuk korporat untuk merancang perekonomian Indonesia. Pada November 1967, dilaksanakan konfrensi istimewa di Jenewa dalam waktu tiga hari. Para peserta konfrensi meliputi para kapitalis paling berkuasa di dunia, seperti David Rockefeller, dan raksasa korporasi, termasuk general Motors. Sementara orang-orang kepercayaan Seoharto yang ikut adalah Adam Malik dan Soemitro Djojohadikusumo. Ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor, membagi ke dalam lima seksi: Pertambangan, jasa, industri ringan, perbankan, dan keuangan[2]. Dengan melihat peristiwa di atas kita bisa katakan bahwa negara juga sudah ditipu, justru negara dikuasai korporasi demi hanya membuka keran investasi dengan dalih pembangunan ekonomi.
Saya menjelaskan secara detail mengenai tahapan sejarah awal proses masuk dan mengarap bumi papua perusahan asing trans Nasional PT Freeport Indonesia, karena menurut penulis menganggap perlu diketahui oleh pembaca bahwa korporat menjadi sumber inti yang bermain dan telah menciptakan situs kekerasan di tanah Papua. Supaya kita sadar bahwa sekat-sekat pemisahan melalui daerah otonomi baru pun dalam rangka melegitimasi kedudukan mereka dan ekspansi ekonomi politik yang terselubung di dalam segala kebijakan yang dipaksakan pada awal PEPERA, otonomi khusus, pengesahaan Omnuslaw, perpanjangan sesi kedua UU Otsus nomor 2 tahun 2021 dan terakhirnya berhasil memekarkan tiga provinsi baru. Yang tentunya diikuti dengan pemekaran kabupaten, distrik, dan desa baru. Juga lebih berbahaya adalah semakin menyebarkan Pos militer pada setiap dusun supaya memudahkan kontrol setiap aktivitas manusia menjaga obyek vital nasional maupun kontrol aktivitas masyarakat sipil.
PRIZINAN KONTRAK KE IZIN USAHA
Setelah menambang habis emas dan tembaga di Ertsberg (1971-1988) PTFI meninggalkan kesan luka yang sangat mendalam bagi pribumi meninggalkan lubang menganga tanpa kegiatan perbaikan kerusakan ekosistem (reklamasi) pascatambang. PT Freeport dan negara tidak pernah investasi bentuk membarui kerusakan lingkungan dan alam. Hal ini dengan alasan investasi di pegunungan Cartenz membutuhkan biaya besar untuk mengangkut alat-alat berat ke pegunungan dengan helikopter tanpa menjumlahkan secara keseluruhan dampak-dampak terhadap sosial-ekonomi yang menyertainya. Di tengah realitas ini seolah-olah negara juga mendukung dan turut ikut menhancurkan sistem alam dan menguras hasil isi perut buminya demi mencari keuntungan tanpa memperhatikan secara cermat dan saksama, sekalipun tahu berpura-pura tutup mata hati dan telinga. Freepoort juga menggunakan lima sungai besar Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe sebagai tempat pembuangan tailing yang terus mencemarkan lingkungan hidup dan alam.
Dengan melihat segala bentuk kejahatan dan ketidak adilan yang semakin eskalasi, maka menerbitkan UU Nomor 4 2009; tentang Mineral dan Batu Bara UU tentang orde baru harus berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan status dengan perjanjian PTFI wajib mendinvestasikan 51% saham ke pihak nasional, membangun pabrik Smelter, dan menaikan pajak. Tetapi juga ancaman yang diberikan kepada negara juga bermain kencan tingkat arbitrasi untuk melunakan perjuangan pemerintah dalam menegakkan konstitusi sebagai sikap bersih kuku terhadap KK dan menolak IUPK. Maka pada era Jokowi mengeluarkan suatu kebijakan pelarangan ekspor sejak 12 Januari 2014. Akan tetapi upaya itu tidak respon baik di pihak perusahaan, maka pemerintah kembali mengeluarkan suatu peraturan pesiden nomor 1 tahun 2017 sebagai suatu ketegasan pemerintah agar berpatuh atas konstitusi untuk keberpihkan kepada negara. Akhirnya pada 29 Agustus 2017 Pemerintah Indonesia dan PTFI telah menyelesaikan proses negosiasi dan mencapai tiga kesepakatan penting, yaitu disvestasi 51% saham, pembangunan Smelter dalam lima tahun, serta penerima pajak dan royalti yang lebih besar[3].
Persoalan tidak sampai disitu. Memenuhi tuntutan negara, pembangunan beberapa proyek raksasa tentunya memakan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, PTFI meminta agar memastikan perpanjangan kontrak pemerintah yang sudah berakhir tahun 2021 dan perusahan meminta perpanjangan kontrak sampai tahun 2041.
Proses renegosiasi tidak pernah membicarakan mengenai masa depan kehidupan orang papua yang akan alami ketika isi perut bumi Papua dikeruk habis. Renegosiasi hanya membahas soal keuntungan negara di bandingkan dengan nasip rakyat papua berdasarkan dengan amanat Undang-Undang mengenai pemanfaatan sumberdaya alam oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Adalah watak rasialis dan superiritas kultural juga menjadi dasar ihwal yang memberikan pengaruh pada segala kebijakan dan keputusan yang telah dihasilkan pusat. Karena akal sehat dan wataknya telah diresapi dengan pengetahuan generasi lalu yang meninggalkan kesan buruk terhadap kelompok yang memandangnya belum diberadab dengan mengangkat dirinya oknum-oknum yang berjuang untuk mengangkat peradaban dengan cara yang kejam dan sadis. Memang pengabaian nilai kemanusiaan manusia bukan hal baru. Pemikat keparasan kekayaan alam menjadi promotor melakukan ekspansi bisnis, warga pribumi menjadi rerumbutan yang diinjak-injak oleh gaja-gaja raksasa.
Di lain pihak, orang asli papua, baik sebagai LSM, gereja maupun politikus dalam sektor pemerintahan yang mengangkat suara-suara kaum lemah dan tertindas dicap sebagai kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan gerakan nasionalisme papua, kemudian menjadi target pengejaran. Sehingga melahirkan beberapa tokoh pribumi menjadi boneka buatan Indonesia, memakai mereka menjual harga dirinya sebagai suatu bangsa yang telah Tuhan Allah menempatkan dan memperlengkapi dengan berbagai estetika yang meminati pandangan mereka. Mereka mengkianati bangsanya sendiri demi mengejar kedudukan dan kekuasaan. Mereka juga menyangkal dirinya di hadapan tuan untuk mempromosikan penghinaan bangsanya menjadi agen pemain tunggal di lapanga yang disediakan oleh boosnya.
Dengan demikian, siapakah yang ingin menjadi sama seperti Musa yang berani memilih hidupnya menjadi ancaman saat ia membela bangsanya, seperti Yosua dan Kaleb yang mengakui kedaulatan dan kemahakuasaan TUHAN, Allah untuk mengalahkan musuhnya. Atau seperti Yohanes yang di atas dasar kebenaran Injil Yesus Kristus, berani berdiri dan membela Injil Kristus melawan imperium dominium tirani Romawi. Dari pada kita bergaya berdasi kedudukan di atas penderitaan bangsa?
NASIP MASYARAKAT AMUNGME-KAMORO
Buku-buku sejarah maupun pengamatan dan kesaksian langsung menunjukkan, pada faktanya kehadiran perusahan PT Freeport Indonesia membawa dampak tren perubahan buruk atas kelangsungan kehidupan suku Amungme-Kamoro. Kehadiran PT Freeport secara langsung maupun tidak langsung berpotensi menghilangkan komunitas sosio-kultural masyarakat suku Amungme-Kamoro, menimpulkan konfik agralia, merelokasi warga, menghilangkan tempat sakral. Benar-benar meniadakan dasar hidup orang asli papua. Filosofi hidup orang pegunungan meyakini tanah adalah mama yang menyediakan susu dan madu untuk memberikan kehidupan. Mereka juga melangsungkan hidup di atas tanah dan akhirnya kembali menjadi tanah. Akan tetapi tanah telah dirusakkan, air dicemarkan, deforestasi hutan dan menghancurkan dan mengeringkan sistem ekosistem dan habitat oleh pembuangan perusahaan. Banyak warga masyarakat pribumi menjadi korban kekerasan dan korban nyawa saat mereka menyuarahkan hak-hak dasar masyarakat asli setempat agar segerah terpenuhi oleh PTPI maupun negara. Namun demikian, tuntutan itu seringkali menyuding mereka sebagai stigma-stigma lain yang dialamatkan seperti separatis, kemudian menjawab dengan dikerakkan pengiriman pasukan untuk menjaga obyek vital nasional. Atas nama stabilitas sosial semakin menguatkan peran internalisasi keamanan ke dalam penjagaan di sekitar areal PT Freeport. Keamanan pun bermain kampanye hitam dengan masyarakat asli setempat dengan memperdagangan amunisi lalu membentuk kelompok binaan agar mereka terus mengacaukan wilayah areal freeport, supaya loyalti keamanan terus meningkat. Melalui perdagangan itu, militer juga mengeruk pohon gaharu yang kini sudah tidak ada di sana adalah secara illegal loging di eksprolasi melalui konsesi militer dengan perusahan terkait lainnya, mungkin secara langsung terikat atau tidak terikat dengan freeport (laporan John Rumpiak). Sampai sekarang belum terpenuhi hak-hak dasar warga masyarakat di sana, termasul lima suku tetangga lainnya.
PROYEKSI PERUSAHAAN DAN SITUASI PAPUA KEKINIAN
Penulis tidak menjelaskan ekstratif yang beroperasi pada umumnya baik perusahaan tambang, kelapa sawit, perusahaan pohon dan sebagainya. Akan tetapi pembahasan lebih fokus pada perusahan ekstraktif tambang di pegunungan tengah, yang mana kaitan dengan kebijakan pemekaran dan kebijakan keamanan sebagai sumbernya dari kepentingan ekonomi politik yang pengetahuannya sakit telinga dan mata kahlayak.
Berhubungan dengan segala dampak yang dialami orang papua pada umumnya akibat multi perusahaan ekstraktif di papua barat ini, sekarang tidak ada yang tersempunyi informasi karena melalui penggunaan jejaringan sosial mudah dikonsumsikan. Itulah sebabnya, melalui berbagai literasi investigasi maupun kajian ilmiah kanca nasional telah menunjukkan bahwa adanya konsesi militer dengan PT Freeport yang signifikan di papua. Semakin perluasan wilayah menggarap baru sesi yang berikut (ekspansi bisnis) dan mengeksploitasi tembaga dan emas serta uranium (uranium belum pernah tahu publik) di wilayah pegunungan tengah papua terlintas gamblang di mata kita. Tanpa kita tahu sudah makan berapa luas hektar yang sudah dan sedang digarap operasi tambang bawah tanah (underground). Atau juga batas luas lahan menjadi kebun menambang terbagi ke dalam per-sesi ke satu dan atau kedua (blok) menempatkan beberapa sudut tempat membuka garapan. Isu yang hangat membahas dan dibicarakan publik hari ini adalah mengenai wacana kehadiran PT Blok Wabu B di kabupaten Intan Jaya yang mulai membahas isunya sejak tahun 2020 lalu di mana tahun setelah satu tahun sebelumnya terjadi konflik bersenjata baru di kabupaten Intan Jaya.
Konflik bersenjata juga memiliki hubungan kaitan dengan kehadiran PT Blok Wabu di Intan Jaya yang berpotensi melahirkan krisis kemanusiaan. Ada empat[4] perusahaan yang teridentifikasi dalam kajian cepat dari koalisi 8 LSM di Indeonsia, yaitu PT Freeport Indonesia, PT Madinah Qurrata Ain, PT Nusapati Satria, dan PT Kotabara Mitratama yang semuanya berstatus Izin Usaha pertambangan. PT Kotabara Mitratama secara administratif sebenarnya perusahaan ini terletak di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua. Namun, lokasi perusahaan seluas 40.116 hektar tersebut berada persis di perbatasan Kabupaten Intan Jaya dan terlewati langsung Jalan Trans-Papua. Izin PT Kotabara Mitratama terbit pada 2010 melalui Keputusan Bupati Paniai No. 017. Dua perusahan PT Kotabara Mitratama dan PT Nusapati Satria tidak ada kaitannya secara langsung konsesi dengan militer.
Melalui kejian cepat ini juga tercatat Dua perusahaan lainnya yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata „Ain (MQ) ada punya hubungan langsung dengan aparat militer. Pada kasus PT Madinah Qurrata, kajian cepat ini mencatat bahwa terdapat paling tidak tiga nama aparat yang bersinggungan dengan perusahaan tersebut, yakni Purnawirawan Polisi Rudiard Tampubolon (komisaris perusahaan PT Madinah Qarrata), Purnawirawan TNI Paulus Prananto (Presiden direktur PT Tobacom Del Mandir), dan Purnawirawan TNI yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi(Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan (Pemilik saham minoritas Toba Sejahtera).
Pada kasus rencana tambang emas di Blok Wabu, kajian cepat ini mencatat terdapat lima aparat militer (TNI/POLRI) antaranya; Purnawirawan TNI Agus Surya Bakti (komisaris utama PT ANTAM) dan Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo (Komisaris PT ANTAM, tapi juga tercatat masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Nasional). Kemudian Purnawirawan TNI Doni Monardo (Komisaris Utama MIND ID) dan urnawirawan Muhammad Munir (Komisaris Independen MIND ID juga tercatat berkiprah sebagai Ketua Dewan Analisa Strategis Badan Intelijen Negara).
Keberadaan purnawirawan dan anggota aktif aparat militer (TNI/POLRI) di perusahaan merupakan bentuk bisnis militer kaki kedua. Karena itu, sulit untuk tidak menduga bahwa ada kepentingan ekonomi di balik serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya (Laporan Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua, hlm 18).
Senada juga telah dijelaskan dalam kajian Tim kemanusiaan bentukan pemerintah Provinsi Papua[5] yang melibatkan dari keterwakilan setiap elemen pada tahun 2020 bahwa; Rencana penambangan Blok Wabu oleh PT Aneka Tambang Tbk itu dikhawatirkan akan semakin meningkatkan eskalasi konflik bersenjata di Intan Jaya. Aktivitas penambangan di Blok Wabu juga bisa menjadi masalah sosial baru, karena dapat berdampak terhadap penghidupan dan kehidupan masyarakat adat di Intan Jaya. Dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat Intan Jaya, maka pola-pola ketidakadilan dan marginalisasi akan menjadi konsekuensi nyata di masa mendatang. Keberadaan Blok Emas Wabu juga akan memunculkan potensi konflik yang lebih rumit untuk diselesaikan[6].
Sekalipun begitu berdatangan suara-suara penolakan dari komponen masyarakat di akar rumbut maupun dipihak solidaritas pembela dengan pertimbangan nasip yang dialami akibat dari penambangan, tetapi pemerintah pusat terus melanjarkan negosiasi dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dalam rangka dukungan pemerintah daerah untuk penetapan perizinan menjadi wilayah izin usaha pertambangan khusus. Pada januari 2021, Direktur Jenderal dan Batubara kementerian SDEM Indonesia mengirimkan surat kepada pemerintah Provinsi dan kabupaten Intan Jaya, Mimika, dan Paniai. Dalam surat itu meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan “memberikan pertimbangan dan atau rekomentasi tentang kesesuaian dan informasi tata ruang serta tata guna lahan” terkait penetapan WIUPK Blok Wabu[7]. Dalam surat tersebut di usulkan dalam WIUPK Blok Wabu memiliki luas sebesar 69.118 hektar yang mencakup tiga kabupaten tersebut.
Menurut analisis citra sateli menunjukkan luas wilaya yang ingin beroperasi mencakup tiga kabupaten yaitu Timika, Intan Jaya, dan Paniai. Pengalaman sebelumnya luas lahan menambang di Timika awalnya sedikit, tetapi pada kenyataan di lapangan lebih luas dari yang terkirakan.
Seiring negosiasi dengan pemerintah daerah untuk penerapan wilayag WIUPK, pemerintah pusat pun berikan daerah otonomi baru secara paksa menjadi lima provinsi di papua. Sekalipun rakyat papua telah berjuang dan terus terang sudah menyampaikan isi hatinya secara transparan kepada pemerintah pusat lewat berbagai bentuk, demostrasi fisik, media, dan aspirasi ketidak inginannya serta melalui jalur yuridisi tetapi acuh tak acuh terhadap aspirasi rakyat papuaa dan segerah realisasikan.
Ketika pemerintah lokal tidak ingin merestui niat jakarta, memaksakan dengan mencari celah untuk menurunkan mereka dari kursi empun baik secara buatan racun maupun diberikan kasus sebagai tekanan dan indimidasi. Tetapi banyak yang menjadi bonek buatan Indonesia. Mereka sudah membius nalar sehatnya dengan sogokan bentuk uang dan tawaran jabatan. Mereka sudah hilang cinta akan tanah dan manusia asalnya. Cepat atau lambat setelah mereka menduduki jabatan tertinggi utus mereka kembali ke sini agar segera mendorong inisiatif jakarta melalui sosialisasi maupun bentuk gerakan radikal bentuk saingan dengan oranisasi kultur orang asli papua yang selama ini memperjuangkan untuk mengangkat nilai-nilai sosio-kultur dan politik ekonomi dalam rangka mengangkat harkat dan martabat manusia yang telah diinjak-injak oleh pemain sandiwara di tanah ini.
Sementara segi Yuridis, para pembela HAM dan atau pada umumnya kedudukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di papua tidak ada pengakuan di mata hukum negara. Terutama orang asli papua tidak ada jaminan hukum di dalam negara ini. Salah satu contohnya adalah pemberian keadilan bagi pelaku kasus orang asli papua seringkali dibatsi pemenuhan hak-hak dasar tahanan. Saya juga salah satu korban kasus klaim pemalsuan surat Vaskin. Sebetulnya belum ada aturan yang mengatur tentang khususnya penyalagunaan surat vaksin tetapi mengenakan kami dengan kasus lainnya yang tidak paralel dengan kasus yang telah kami lakukan. Kemudian membebankan kepada orangtua uang denda sebesar Rp: 80.000.000 (delapan puluh juta rupiah) sebagai soluasi pembebasan. Penyidik menahn kami sampai memakan dua bulan penuh (Desember –Januari 2022) di dalam penjarah, sebagai mahasiswa mengorbankan kuliah kami. Pada hal, tindakan bukan kasus kena pasal, tetapi kategori hukuman lainnya yang bersifat mendisplinkan. Adapun setiap kasus memandang kami orang asli papua dengan satu kacamata yang sama, yaitu pengacau sehingga pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat sikologis terganggu, pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungan dengan kasus yang dibuat. Seperti saudara Abed Telenggen, seoran mahasiswa STT, setelah ditahan di polda papua kasus dugaan berafiliasi dengan TPN PB tahun 2020 lalu, para penyidik melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti begini; Apakah kamu kenal Socratez Yoman, Benny Giyai? Apakah kamu mau menjadi sama seperti mereka?
Artinya bahwa pejabatan segala bidang yang bekerja di papua secara sistematis sudah menargetkan satu kerangka pikiran yang sama dan kemudian dipakai untuk mengejar orang sesuai target mereka. Adalah kebodohan orang Indonesia yang memang sudah menjadi watak dan naruli mereka memandang dengan perspektif buruk secara sikologis yang tampaknya mereka sendiri terkurung dalam sifat-sifat buruk yang rancang dan menyimpan mengenai orang asli papua.
KEBIJAKAN POLITIK DAN KONFLIK DI PAPUA
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kenyataan di papua masih ada konflik perang bersenjata antara TNI/Porli dan TPN PB yang diikuti dengan tsunami pengungsi di beberapa kabupaten di papua dan papua barat. Dalam surat suara kenabian, Dewan Gereja Papua telah menjelaskan jumlah pengungsi pada umunnya papua mencapai 60 ribu warga mengungsi ke hutan dan masih belum balik ke halaman dan dusun/kampung mereka masing-masing karena alasan keamanan dan situasi masih belum kondusif yang terjadi tahun 2020-2022 belakangan ini. Pada faktanya begitu kegiatan humanisasi sangat diharapkan oleh semua pihak untuk pemulihan dan rekonsiliasi di tanah papua, Jakarta seolah-olah berjalan sepak ke paling jauh-jauh yang mereka dampaan dan semakin menjauhi harapan untuk hidup aman, damai dan bebas. Tiga unsur krusial dalam penegakkan HAM tidak sepenuhnya terjadi disini. Tiga hal penting dalam penegakkan Hak Azasi Manusia adalah keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Akibat dari adanya konflik bersenjata ini juga membawa perubahan radikal atas segalah segi kehidupan. Pendidikan tidak berjalan, layanan kesehatan berhenti dan pelayanan publik lainnya tidak beralan. Sementara negara telah melupakan dengan kegiatan afirmatif yang telah diamanatkan dalam UU Otsus itu sendiri, yakni untuk mengangkat hak-hak dasar masyarakat orang asli papua. Justru kesentuhan itu terbalik menunjukkan ke atas yang tidak benar-benar terjadi disini. Itu hanya suatu wacana atau narasi kreatif yang diidealkan oleh aktor lain yang ingin supaya hal itu tidak segera terjadi di sini.
Dengan demikian, maka apa yang dikatakan oleh Ibu Pdt Dora Balubun, kepala bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Sinode GKI Di Tanah Papua tentunya adanya benar; “negara Indonesia berjuang bukan karena orang papua, tetapi karena kekayaan yang ada di tanah Papua” (Pdt. Ibu Dora, selasa 09 Maret 2021).
Maka pemekaran dan perpanjangan berlakuan uu otsus merupakan konspirasi politik dalam rangka memecah belakhkan antara budaya, segi geografis dan tujuan hidup. Pada saat yang sama juga kedudukan ibu kota Provinsi Papua tengah di Nabire juga bagian dari tujuannya sama, supaya memudahkan kegiatan ekspor dan impor melalui jalan darat dan laut menjadi paling mudah.
Kebijakan Keamanan.
Begitu jelas banyak orang-orang binaan setengah papua yang bermunculan disini. Mereka itu belum terlalu sadar dari kesadaran palsu, pertobatan palsu dan tujuan palsu yang menjadi promotor menjalani hidupnya yang tidak jelas arahnya masih terbayang-bayang. Karena ia hidup atas ketentuan orang lain sesuai dengan apa yang mereka inginkan untuk ia melakukannya. Baik itu di kalangan masyarakat sipil maupun inteletual dan elit lokal.
Ada beberapa kelompok buatan binaan para bin dan Bais menciptakan kericuhan. Kemudian atas nama pengamanan keamanan yang berpotensi konflik menyerjunkan aparat keamanan jumlah yang tidak sedikit. Kemudian dengan alasan yang sama pemekaran Kodim dan Porles baru dan pos keamanan di pelosok semakin dekat dengan maksud yang terselubung. Hanya demi kegiatan ekspansi bisnis membangun suatu pendekatan lain yang menjustifikasi pengerakkan keamanan agar terkontrol setiap aktivitas warga atau securitisasi wilayah-wilayah sasaran penambangan emas dan kekayaan lainnya.
Adalah kegiatan pembenaran dari pemusnahan mempromosikan program ekosida, etnosida, dan genosida. Nyatanya disparitas membuat kesenjangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Juga semakin meningkatkan operasi militer dan kontrol terhadap segala aktivitas masyarakat.
PROYEKSI NASIP ORANG PAPUA KEDEPAN
Adalah jelas bahwa treatment jakarta ramput kritting dan kulit hitam dan gerakannya hanya meneriakkan merdeka. Lalu kekayaan isi perut bumi Papua diambil bawah pulang. Kemudian segala kebijkan, instrumen hukum dan produk aturan lainnya hanya membenarkan pandangan-pandangan yang diresapi dengan stigma-stigma buruk yang melabelkan kepada orang asli papua untuk mengangkat beradaban orang Papua yang semakin membiadab. Sehingga ada sistem rasisme yang secara sistematis yang terpegaruh pada segalah kebijakan dan peraturan yang dihasilkan untuk wilayah papua dan papua barat. Sehingga selama masih ada bersama negara Indonesia ini, kita akan berada dalam neraka kecil yang membakar sebagain tubuh tanpa menyatakan rasa kesakitannya walaupun sakit memilih diam membisu.
Dampak dari kehadiran uu Otsus sebelumnya kita lihat itu, waktu itu menerapkan kebijakan dua operasi yang berlaku tahun-tahun 1970-80-an, yakni kebijakan operasi militer dan transmigrasi. Orang-orang dari Jawa, sulawesi telah membanjiri ke tanah papua untuk mengajak orang asli papua cara bagaimana memanfaatkan sumber daya ekonomi. Tetapi orang-orang tersebut tidak bisa bahasa Indonesia. Setiap hari memakai bahasa toraja dan jawa. Dari situ menimpulkan pertanyaan lain bahwa; apakah benar-benar orang-orang ini mengajak orang papua cara kelola sumber daya alam? Pada faktanya tidak!
Dengan adanya pemekaran provinsi baru, tentunya akan diikuti pula pemekaran kabupaten, distrik dan desa, serta Kodim, Kodam, Porles dan persek semakin berdakatkan. Saat orang papua tidak siap untuk mengisi ruang-ruang kesempatan kerja yang tersedia dan keterampiran khusus lainnya yang berhubungan dengan pemberdayaan dalam kemandirian ekonomi maka memberikan peluang besar kepada pendatang. Sehingga kita semakin menyingkirkan secara ekonomi, kesempatan kerja dan tentunya segala pelayanan lainnya juga diikuti mendapatkan oleh mereka.
Adalah sumber dari maksud terselubung untuk kepentingan ekspansi politik ekonomi. Masyarakat lain di papua sudah belajar dari pengalaman sasaran operasi PT ekstraktif dimana membiarkan hak-hak dasar dan semakin eskalasi pelanggaran HAM semakin meningkat. Pokok dari kehadiran perusahaaan ekstraktif itu akan sasaran pada pemusnahan sosio-kultur masyakat, menimpulkan konflik agraria dan indusri pertanaan, kerusakan lingkungan dan sistem ekosistem, deforestasi yang menyebabkan potensi kelongsoran, pemindahan warga (relokasi). Sehingga manusia yang hidup tanpa dasar. Dependensi dan tangan menjadi lamban, sehingga menimpulkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Masyarakat menjadi miskin di atas tanahnya yang kaya. Karena tidak ada akumulasi yang jelas pembangunan yang keberpihakkan kepada orang asli papua. Investasi pertambangan kemudian hanya melanggengkan formas kelas para elit, sementara di pihak lain, rakyat dibiarkan miskin karena lahan pertanian dicaplok untuk ekspansi pertambangan. Tentu pebisnis ada dalam posisi yang menguasai sumber daya dan monopoli investasi. Sementara itu, rakyat tidak memiliki akses ke sumber daya ekonomi, sehingga mereka tidak akan mandiri sehingga terpaksa tejun bebas menjadi buruh kasar untuk bertahan hidup disekitar mesin-mesin pertambangan raksasa. Jika kekayaan sudah menjarah habis tembaga dan emas, orang papua akhirnya hanya mewarisi lubang mengangga besar untuk generasi mendatang. Ketika bahan tambang itu dikeruk dan eksprolasi terus menerus hanya akan dihadiakan peninggalan kerak tumbang dengan lubang mengangga tanpa ada perbaikan kembali untuk pemulihan kerusakan. Hal ini terjadi apabila sekarang ini belum merancang sumber alternatif lain untuk masa depan ekonominya. Buktinya belum ada inisiatif PTFI untuk mengelola hasil pembuangannya menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat setempat.
Oleh karena itu, kesadaran diri mengenai tempat kita berada, apa yang kita miliki harus dijaga dan direstarikan agar kita sendiri kendalikan hak kita di tanah yang Tuhan beri ini. Jika apa yang saya punya saya sudah punya kesadaran tidak mudah orang lain datang mengambilnya dengan cara apapun.
[1] Pdt. Socratez Sopyan Nduman Yoman, MA (cetakan kedua 2012). PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (hlm 76).
[2] Ferdy Hasiman (2019). FREEPORT – Bisnis Orang Kuat versus Kedaulatan Negara; hlm 28-29
[3] Ferdy Hasiman (2019). FREEPORT – Bisnis Orang Kuat versus Kedaulatan Negara. PT Kompas Media Nusantara. Jl: Palmerah Selatan, 26-28 Jakarta 10270; hlm 138.
[4] Laporan Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua– Kasus Intan Jaya. Koaliis LSM: Bersihkan Indonesia, YLBHI, WALHI Ekskutif Nasional, KONTRAS, JATAM, PUSAKA Bentara Rakyat, WALHI PAPUA, LBH Papua, dan Greenpeach Indonesia Trend Asia; hal 15-16. Menjelaskan bahwa ada konsesi empat perusahaan dengan militer di kabupaten Intan Jaya yang menjadi latar belakang menciptakan krisis kemanusiaan.
[5] TIM KEMANUSIAAN UNTUK KASUS KEKERASAN TERHADAP TOKOH AGAMA DI KABUPATEN INTAN JAYA INI dibentuk oleh Gubernur Provinsi Papua pada tanggal 12 Oktober 2020 melalui Keputusan Gubernur Papua Nomor 188.4/324/Tahun 2020.
[6] DUKA DI HITADIPA. Laporan Tim Kemanusiaan Untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama Di Kabupaten Intan Jaya -2020-; hlm 20.
[7] Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Sumber Daya Energi Mineral Indonesia, Surat 196/MB.03.05/DJB/2021/, 27 Januari 2021. Salinan ada pada Amnesty Internasional.
[8] Sumber akun jejaring twitter; https://twitter.com/Damai_Cartenz?t=ppZ7b7_1VRB-wwJxUo9o6w&s=09
Komentar
Posting Komentar